Simalakama Dari Tanah Raja Ali Haji 2

Selasa, 15 Juli 2008


Dikutip dari investigasi tempo edisi 23 Juli 2006

Mengapa orang Malaysia begitu gandrung membeli naskah klasik Melayu ?

Pertama, penting diketahui bahwa yang dimaksud naskah atau perkamen klasik Melayu tak melulu karya literer yang ditulis pujangga kerajaan.”Naskah klasik ini bisa berupa catatan social tentang kondisi pada abad ke 17-18, gurindam dan pantun, hingga catatan perjalanan biasa,” Kata Nindya Noegraha, Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus Perpustakaan Nasional, Jakarta. Simpul temu seluruh naskah ini adalah bahwa semua teks ditulis dalam huruf bahasa Arab gundul.

Kedua, masih menurut Nindya, garis keturunan dan kemiripan kultural yang bersumber dari satu leluhur ratusan tahun yang silam itu membuat masyarakat Riau merasa lebih aman “menitipkan” warisan keluarga itu di negeri jiran ketimbang di Jakarta. Persoalannya jauh lebih luas dari sekadar masalah kepercayaan, karena sudah menyentuh hal yang lebih emosional: akar tradisi.

Direktur Yayasan Warisan Johor, Ungku M. Zaman Tahir, termasuk yang berpandangan seperti itu, dengan menunjukkan fakta historis bahwa sebelum tahun 1824, kerajaan Johor dan Riau masih berada dalam satu pemerintahan tunggal. Artinya?”Bukan hanya naskah Melayu Riau yang menarik perhatian kami, melainkan naskah-naskah buah pikir masyarakat Johor yang masih tersebar di Riau yang kami cari,” katanya.

Di luar berbagai klaim cultural itu, Undang-Undang No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya jelas-jelas melarang transaksi artefak sejarah. Pasal 15 ayat 2 menyebutkan bahwa tanpa izin pemerintah tiap orang dilarang membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia. Jika larangan itu dilanggar, seperti disebutkan dalam pasal 26, sang pelaku akan dipidana penjara selama-lamanya 10 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 100 Juta.

Pertanyaannya sekarang, adakah pemahaman tentang undang-undang ini membuat “sang penjahat” dalam jual-beli naskah menjadi lebih mudah teridentifikasi. Lalu, siapa yang harus dicokok aparat, penjual atau pembeli, jika hokum harus tegak ?

Tak begitu mudah menjawab pertanyaan sederhana diatas. “Salah satu pangkal kusutnya adalah tafsir atas UU No.5/1992 sendiri,” kata Nindya. Berdasarkan pengamatannya di lapangan, pengertian benda cagar budaya yang dipahami petugas hanya sebagai artefak, seperti halnya patung dan bekas reruntuhan situs.”Naskah Klasik dalam prakteksnya sering tidak dilihat sebagai benda cagar budaya,” ujarnya.

Padahal, tertera dalam undang-undang, yang dimaksudkan dengan benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berumur sekurang-kurangya 50 tahun serta dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Pengabaian definisi yang sudah jelas itu karenanya menjadi hal yang mengherankan Amien Sweeney, Profesor peradaban Melayu di Universitas California, Berkeley, yang pernah 20 tahun memberikan kuliah di Universiti Kebangsaan Malaya. Ia yakin ribuan naskah Melayu sudah hijrah dari suhu panas Riau ke rak-rak berpendingin udara di perpustakaan Malaysia. Hampir semuanya diabadikan dalam microfilm. “Indonesia memang surga naskah Melayu yang mudah dipetik,” ujar penulis buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi ini kepada Tempo.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Senin, 15:42 WIB)

0 komentar:

Posting Komentar