Sejarah Riau

Senin, 28 Juli 2008

Sejarah Riau

Langsung ke: navigasi, cari

Pembentukan Provinsi Riau ditetapkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958. Sama halnya dengan provinsi lain yang ada di Indonesia, untuk berdirinya Provinsi Riau memakan waktu dan perjuangan yang cukup panjang, yaitu hampir 6 tahun (17 Nopember 1952 s/d 5 Maret 1958).

Periode 5 Maret 1958 – 6 Januari 1960

Dalam Undang-undang pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, Jo Lembaran Negara No 75 tahun 1957, daerah swatantra Tingkat I Riau meliputi wilayah daerah swatantra tingkat II ;

1. Bengkalis

2. Kampar

3. Indragiri

4. Kepulauan Riau, termaktub dalam UU No. 12 tahun 1956 (L. Negara tahun 1956 No.25)

5. Kotaparaja Pekanbaru, termaktub dalam Undang-undang No. 8 tahun 1956 No. 19

Dengan surat keputusan Presiden tertanggal 27 Februari 1958 No. 258/M/1958 telah diangkat Mr. S.M. Amin, Gubernur KDH Provinsi Riau di lakukan pada tanggal 5 Maret 1958 di Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman. Pelantikan tersebut dilakukan ditengah-tengah klimaksnya gerakan koreksi dari daerah melalui PRRI di Sumatera Tengah yang melibatkan secara langsung daerah Riau. Dengan demikian, Pemerintah Daerah Riau yang baru terbentuk harus mencurahkan perhatian dan kegiatannya untuk memulihkan keamanan di daerahnya sendiri.

Seiring dengan terjadinya gerakan koreksi dari daerah melalui PRRI, telah menyebabkan kondisi perekonomian di Provinsi Riau yang baru terbentuk semakin tidak menentu. Untuk mengatasi kekurangan akan makanan, maka diambil tindakan darurat, para pedagang yang mampu dikerahkan untuk mengadakan persediaan bahan makanan yang luas. Dengan demikian dalam waktu singkat arus lalu lintas barang yang diperlukan rakyat berangsur-angsur dapat dipulihkan kembali.

Di Riau Daratan yang baru dibebaskan dari pengaruh PRRI, pemerintahan di Kabupaten mulai ditertibkan. Sebagai Bupati Inderagiri di Rengat ditunjuk Tengku Bay, di Bengkalis Abdullah Syafei. Di Pekanbaru dibentuk filial Kantor Gubernur yang pimpinannya didatangkan dari kantor Gubernur Tanjungpinang, yaitu Bupati Dt. Wan Abdurrachman dibantu oleh Wedana T. Kamaruzzaman.

Pemindahan Ibukota

Karena situasi daerah telah mulai aman, maka oleh pemerintah (Menteri Dalam Negeri) telah mulai difikirkan untuk menetapkan ibukota Provinsi Riau secara sungguh-sungguh, karena penetapan Tanjungpinang sebagai ibukota provinsi hanya bersifat sementara. Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri telah mengirim kawat kepada Gubernur Riau tanggal 30 Agustus 1958 No. Sekr. 15/15/6.

Untuk menanggapi maksud kawat tersebut secara sungguh-sungguh dan penuh pertimbangan yang cukup dapat dipertanggung jawabkan, maka Badan Penasehat meminta kepada Gubernur supaya membentuk suatu Panitia khusus. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Swatantra tingkat I Riau tanggal 22 September 1958 No.21/0/3-D/58 dibentuk panitia Penyelidik Penetapan Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I Riau.

Panitia ini telah berkeliling ke seluruh Daerah Riau untuk mendengar pendapat-pendapat pemuka-pemuka masyarakat, penguasa Perang Riau Daratan dan Penguasa Perang Riau Kepulauan. Dari angket langsung yang diadakan panitia tersebut, maka diambillah ketetapan, bahwa sebagai ibukota terpilih Kota Pekanbaru. Pendapatan ini langsung disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Akhirnya tanggal 20 Januari 1959 dikeluarkan Surat Keputusan dengan No. Des.52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau.

Untuk merealisir ketetapan tersebut, dibentuklah dipusat suatu panitia interdepartemental, karena pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru menyangkut kepentingan semua Departemen. Sebagai pelaksana di daerah dibentuk pula suatu badan di Pekanbaru yang diketuai oleh Penguasa Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution.

Sejak itulah mulai dibangun Kota Pekanbaru dan untuk tahap pertama mempersiapkan bangunan-bangunan yang dalam waktu singkat dapat menampung pemindahan kantor-kantor dan pegawai-pegawai dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Sementara persiapan pemindahan secara simultan terus dilaksanakan, perubahan struktur pemerintahan daerah berdasarkan Penpres No.6/1959 sekaligus direalisir.

Gubernur Mr. S.M. Amin digantikan oleh Letkol Kaharuddin Nasution yang dilantik digedung Sekolah Pei Ing Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960. Karena Kota Pekanbaru belum mempunyai gedung yang representatif, maka dipakailah gedung sekolah Pei Ing untuk tempat upacara.

Periode 6 Januari 1960 – 15 Nopember 1966

Dengan di lantiknya Letkol Kaharuddin Nasution sebagai Gubernur, maka struktur Pemerintahan Daerah Tingkat I Riau dengan sendirinya mengalami pula perubahan. Badan Penasehat Gubernur Kepala Daerah dibubarkan dan pelaksanaan pemindahan ibukota dimulai. Rombongan pemindahan pertama dari Tanjungpinang ke Pekanbaru dimulai pada awal Januari 1960 dan mulai saat itu resmilah Pekanbaru menjadi ibukota.

Aparatur pemerintahan daerah, sesuai dengan Penpres No.6 tahun 1959 mulai dilengkapi dan sebagai langkah pertama dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 14 April 1960 No. PD6/2/12-10 telah dilantik Badan Pemerintah Harian bertempat di gedung Pei Ing Pekanbaru dengan anggota-anggota terdiri dari :

1. Wan Ghalib

2. Soeman Hs

3. A. Muin Sadjoko

Anggota-anggota Badan Pemerintahan Harian tersebut merupakan pembantu-pembantu Gubernur Kepala Daerah untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Di dalam rapat Gubernur, Badan Pemerintah Harian dan Staff Residen Mr. Sis Tjakraningrat, disusunlah program kerje Pemerintah Daerah, yang dititik beratkan pada :

1. Pemulihan perhubungan lalu lintas untuk kemakmuran rakyat.

2. Menggali sumber-sumber penghasilan daerah

3. Menyempurnakan aparatur.

Program tersebut dilaksanakan secara konsekwen sehingga dalam waktu singkat jalan raya antara Pekanbaru sampai batas Sumatera Barat siap dikerjakan. Jalan tersebut merupakan kebanggaan Provinsi Riau. Pemasukan keuangan daerah mulai kelihatan nyata, sehingga Kas Daerah yang pada mulanya kosong sama sekali, mulai berisi. Anggaran Belanja yang diperbuat kemudian tidak lagi merupakan anggaran khayalan tetapi betul-betul dapat dipenuhi dengan sumber-sumber penghasilan sendiri sebagai suatu daerah otonom.

Disamping itu atas prakarsa Gubernur Kaharuddin Nasution diusahakan pula pengumpulan dana disamping keuangan daerah yang sifatnya inkonvensional. Dana ini diperdapat dari sumber-sumber di luar anggaran daerah, dan hasilnya dimanfaatkan untuk pembangunan, diantaranya pembangunan pelabuhan baru beserta gudangnya, gedung pertemuan umum (Gedung Trikora), gedung Universitas Riau, Wisma Riau Mesjid Agung, Asrama Pelajar Riau untuk Putera dan Putri di Yogyakarta dan lain-lain.

Usaha untuk menyempurnakan Pemerintah Daerah terus ditingkatkan, disamping Gubernur Kepala Daerah, pada tanggal 25 April 1962 diangkat seorang Wakil Gubernur kepala Daerah, yaitu Dt. Wan Abdurrahman yang semula menjabat Walikota Pekanbaru, jabatan Walikota dipegang oleh Tengku Bay.

Disamping penyempurnaan aparatur pemerintahan, oleh Pemerintah Daerah dirasakan pula bahwa luasnya daerah-daerah kabupaten yang ada dan batas-batasnya kurang sempurna, sehingga sering menimbulkan stagnasi dalam kelancaran jalannya roda pemerintahan. Ditambah lagi adanya hasrat rakyat dari beberapa daerah seperti Indragiri Hilir, Rokan, Bagan Siapi-api dan lain-lain yang menginginkan supaya daerah-daerah tersebut dijadikan Kabupaten. Untuk itu maka oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada tanggal 15 Desember 1962 dengan SK. No.615 tahun 1962 di bentuklah suatu panitia.

Hasil kerja dari pantia tersebut menjadikan Provinsi Riau 5 (lima) buah daerah tingkat II dan satu buah Kotamadya.

* Kotamadya Pekanbaru : Walikota KDH Kotamadya Tengku Bay.

* Kabupaten Kampar : Bupati KDH R. Subrantas

* Kabupaten Indragiri Hulu : Bupati KDH. H. Masnoer

* Kabupaten Indragiri Hilir : Bupati KDH Drs. Baharuddin Yusuf

* Kabupaten Kepulauan Riau : Bupati KDH Adnan Kasim

* Kabupaten Bengkalis : Bupati KDH H. Zalik Aris

Sewaktu pemerintah pusat memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan Singapura, serta ditingkatkan dengan konfrontasi fisik dengan keputusan Presiden Republik Indonesia tahun 1963, maka yang paling dahulu menampung konsekwensi-konsekwensinya adalah daerah Riau. Daerah ini yang berbatasan langsung dengan kedua negara tetangga tersebut dan orientasi ekonominya sejak berabad-abad tergantung dari Malaysia dan Singapura sekaligus menjadi kacau.

Untuk menghadapi keadaan yang sangat mengacaukan kehidupan rakyat tersebut, dalam rapat kilat yang diadakan Gubernur beserta anggota-anggota BPH, Catur Tunggal dan Instansi-instansi yang bertanggung jawab, telah dibahas situasi yang gawat tersebut serta dicarikan jalan keluar untuk bisa mengatasi keadaan. Kepada salah seorang anggota BPH ditugaskan untuk menyusun suatu konsep program yang meliputi semua bidang kecuali bidang pertanahan, dengan diberi waktu satu malam. Dalam rapat yang diadakan besok paginya konsep yang telah disusun tersebut diterima secara mutatis mutandis.

Tetapi nyatanya pemeritah pusat waktu itu tidak dapat melaksanakan program tersebut sebagaimana yang diharapkan terutama tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi langsung oleh rakyat, seperti pengiriman bahan pokok untuk daerah-daerah Kepulauan dan penyaluran hasil produksi rakyat.

Dalam bidang moneter diambil pula tindakan-tindakan drastis dengan menghapuskan berlakunya mata uang dollar Singapura/Malaysia di Kepulauan Riau, serta menggantinya dengan KRRP (Rupiah Kepualaun Riau) yang berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1963. Untuk melaksanakan pengrupiahan Kepualauan Riau tersebut, diberikan tugas kepada Team Task Force II dibawah pimpinan Mr. Djuana dari Bank Indonesia.

Dengan perubahan-perubahan pola ekonomi secara mendadak dan menyeluruh dengan sendirinya terjadi stagnasi. Perekonomian jadi tidak menentu. Arus barang terhenti, baik keluar maupun masuk. Daerah Riau yang pada dasarnya adalah penghasil barang ekspor, akhirnya menjadi kekeringan. Barang-barang produksi rakyat, terutama karet menjadi menumpuk dan tak dapat di alirkan, barang-barang kebutuhan rakyat tidak masuk kecuali yang didatangkan oleh pemerintah sendiri yang tebatas hanya di kota-kota pelabuhan. Kebijaksanaan yang diambil pemerintah kemudian tidak meredakan keadaan, malahan menambah kesengsarahan rakyat, terutama di bidang ekonomi dan keamanan.

Untuk menanggulangi bidang ekonomi, di pusat dibentuk Komando Tertinggi Urusan Ekonomi (Kotoe) yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio. Di Riau di tunjuk Gubernur Kaharuddin Nasution sebagai pembantu Kotoe tersebut. Oleh Kotoe di tunjuk PT. Karkam dengan hak monopoli untuk menampung seluruh karet rakyat dan mengekspor keluar negeri. Kondisi ini justru semakin memperburuk perekonomian rakyat.

Pada tahun–tahun terakhir masa jabatan Gubernur Kaharuddin Nasution terjadi ketegangan dengan pemuka-pemuka masyarakat Riau. Dari segi politis, ketegangan dengan tokoh-tokoh masyarakat Riau telah berjalan beberapa tahun yang berpangkal pada politik kepegawaian. Pemuka-pemuka daerah berpendapat bahwa Gubernur Kaharuddin Nasution terlalu banyak memberikan kedudukan-kedudukan kunci kepada orang-orang yang dianggap tidak mempunyai iktikad baik terhadap daerah Riau. Hal ini ditambah pula dengan ditangkapnya Wakil Gubernur Dt. Wan Abdul Rachman yang difitnah ikut dalam gerakan membentuk negara RPI (Republik Persatuan Indonesia), fitnahan ini dilansir oleh PKI. Akibatnya Dt. Wan Abdurrachman diberhentikan dari jabatannya dengan hak pensiun.

Kebangkitan Angkatan 66 dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Riau bukanlah suatu gerakan spontanitas tanpa sadar. Kebangkitan Angkatan 66 timbul dari suatu embrio proses sejarah yang melanda Tanah Air. Konsep Nasakom Orde Lama menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dalam segala aspek kehidupan nasional. Lembaga-lembaga Negara tidak berfungsi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Penetrasi proses Nasakomisasi ke dalam masyarakat Pancasilais menimbulkan keretakan sosial dan menggoncangkan sistem-sistem nilai yang menimbulkan situasi konflik. Di tambah lagi adanya konfrontasi dengan Malaysia yang menyebabkan rakyat Riau sangat menderita karena kehidupan perekonomian antara Riau dengan Malaysia menjadi terputus.

Daftar Gubernur Riau

Hingga sekarang pejabat Gubernur Riau sudah mengalami beberapa kali pergantian, yaitu :

1. Mr. S.M. Amin Periode 1958 – 1960

2. H. Kaharuddin Nasution Periode 1960 – 1966

3. H. Arifin Ahmad Periode 1966 – 1978

4. Hr. Subrantas.S Periode 1978 – 1980

5. H. Prapto Prayitno (Plt) 1980

6. H. Imam Munandar Periode 1980 – 1988

7. H. Baharuddin Yusuf (Plh) 1988

8. Atar Sibero (Plt) 1988

9. H. Soeripto Periode 1988 – 1998

10. H. Saleh Djasit Periode 1998 – 2003

11. H.M. Rusli Zainal Periode 2003 - sekarang

(Pekanbaru, El-Qi.net, Senin, 28 Juli 2008, 23.20 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 09.18 0 komentar  

Simalakama Dari Tanah Raja Ali Haji 2

Selasa, 15 Juli 2008


Dikutip dari investigasi tempo edisi 23 Juli 2006

Mengapa orang Malaysia begitu gandrung membeli naskah klasik Melayu ?

Pertama, penting diketahui bahwa yang dimaksud naskah atau perkamen klasik Melayu tak melulu karya literer yang ditulis pujangga kerajaan.”Naskah klasik ini bisa berupa catatan social tentang kondisi pada abad ke 17-18, gurindam dan pantun, hingga catatan perjalanan biasa,” Kata Nindya Noegraha, Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus Perpustakaan Nasional, Jakarta. Simpul temu seluruh naskah ini adalah bahwa semua teks ditulis dalam huruf bahasa Arab gundul.

Kedua, masih menurut Nindya, garis keturunan dan kemiripan kultural yang bersumber dari satu leluhur ratusan tahun yang silam itu membuat masyarakat Riau merasa lebih aman “menitipkan” warisan keluarga itu di negeri jiran ketimbang di Jakarta. Persoalannya jauh lebih luas dari sekadar masalah kepercayaan, karena sudah menyentuh hal yang lebih emosional: akar tradisi.

Direktur Yayasan Warisan Johor, Ungku M. Zaman Tahir, termasuk yang berpandangan seperti itu, dengan menunjukkan fakta historis bahwa sebelum tahun 1824, kerajaan Johor dan Riau masih berada dalam satu pemerintahan tunggal. Artinya?”Bukan hanya naskah Melayu Riau yang menarik perhatian kami, melainkan naskah-naskah buah pikir masyarakat Johor yang masih tersebar di Riau yang kami cari,” katanya.

Di luar berbagai klaim cultural itu, Undang-Undang No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya jelas-jelas melarang transaksi artefak sejarah. Pasal 15 ayat 2 menyebutkan bahwa tanpa izin pemerintah tiap orang dilarang membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia. Jika larangan itu dilanggar, seperti disebutkan dalam pasal 26, sang pelaku akan dipidana penjara selama-lamanya 10 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 100 Juta.

Pertanyaannya sekarang, adakah pemahaman tentang undang-undang ini membuat “sang penjahat” dalam jual-beli naskah menjadi lebih mudah teridentifikasi. Lalu, siapa yang harus dicokok aparat, penjual atau pembeli, jika hokum harus tegak ?

Tak begitu mudah menjawab pertanyaan sederhana diatas. “Salah satu pangkal kusutnya adalah tafsir atas UU No.5/1992 sendiri,” kata Nindya. Berdasarkan pengamatannya di lapangan, pengertian benda cagar budaya yang dipahami petugas hanya sebagai artefak, seperti halnya patung dan bekas reruntuhan situs.”Naskah Klasik dalam prakteksnya sering tidak dilihat sebagai benda cagar budaya,” ujarnya.

Padahal, tertera dalam undang-undang, yang dimaksudkan dengan benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berumur sekurang-kurangya 50 tahun serta dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Pengabaian definisi yang sudah jelas itu karenanya menjadi hal yang mengherankan Amien Sweeney, Profesor peradaban Melayu di Universitas California, Berkeley, yang pernah 20 tahun memberikan kuliah di Universiti Kebangsaan Malaya. Ia yakin ribuan naskah Melayu sudah hijrah dari suhu panas Riau ke rak-rak berpendingin udara di perpustakaan Malaysia. Hampir semuanya diabadikan dalam microfilm. “Indonesia memang surga naskah Melayu yang mudah dipetik,” ujar penulis buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi ini kepada Tempo.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Senin, 15:42 WIB)

Simalakama Dari Tanah Raja Ali Haji 1


Dikutip dari investigasi tempo edisi 23 Juli 2006

Naskah-naskah klasik Melayu Riau diperdagangkan secara terbuka. Memanfaatkan makelar, pembelinya dating dari Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dalam belenggu kemiskinan, pemilik naskah tak banyak pilihan, sementara undang-undang Benda Cagar Budaya yang melarang ini praktis tidak bergigi. Lalu buah simalakama itu tersaji: melepas naskah-naskah itu melayang pergi atau membiarkannya remuk dimakan usia.

Musim kemarau enam tahun silam menjadi saat tidak terlupakan bagi Rahman Yusuf, 47 tahun. Ketika itu buruh tani Desa Resun, kecamatan Lingga, Riau ini tak menyangka akan dikunjungi oleh seorang pengusaha asal johor, Wan Moh Abdullah. Wan dating bersama rekan-rekannya dari Malaysia untuk melihat reruntuhan Kerajaan Riau –Lingga yang diyakini sebagai daerah leluhur mereka.

Desa Resun berada di sepotong jalan menuju Daik, bekas pusat Kerajaan Riau-Lingga. Rute yang lain bisa ditempuh adalah mengarungi Sungai Daik dengan kapal motor. Namun, jika kemarau berkepanjangan seperti tahun 2000 itu, air sungai menyusut drastis sehingga sulit untuk dilalui. Akibatnya, jalan darat hanya satu-satunya pilihan. Dalam perjalanan itulah Wan rehat sejenak di rumah sederhana milik Rahman.

Tak dinyana, pandangan sang tamu tertumbuk pada sebuah Al-Qur’an lapuk. Kitab suci yang beberapa halamannya sudah rompal dimakan rayap itu dibalik-baliknya dengan antusias.”Dia bertanya mau saya jual dengan harga berapa,” Rahman mengulang pertanyaan Wan. Kaget oleh kejadian yang rak pernah terbayangkan itu, ayah tiga anak ini hanya diam. Tapi Wan mengejar terus. Akhirnya mufakat tercipta.”Dia membayar dengan ringgit senilai Rp 5 juta,” ujar Rahman.

Selain Al-Qur’an warisan keluarga, juga segepok perkamen mengenai tasawuf yang sudah menguning, sebilah keris, serta ikat pinggang perak dengan Melayu abad ke-19 yang berpindah tangan. Petang itu kekayaan Rahman bertambah Rp 15 Juta. Rahman berhenti dari pekerjaannya menjadi buruh tani dan memilih menjadi tukang ojek dengan motor baru miliknya sendiri. Sisa uang yang masih ada dijadikan modal untuk warung istrinya.

Kisah Rahman yang mendapat rejeki nomplok dari perkamen klasik adalah hal jamak dari obrolan keseharian masyarakat Riau. Naskah-naskah itu diperjualbelikan layaknya komoditas hasil bumi biasa, bukan barang berharga yang layak dipertahankan. Tengoklah pengalaman Al-Azhar pakar Linguistik dari Universitas Leiden. Di Tanjung Pinang, di sebuah kedai kopi, sebuah perkamen kuno setebal 500 halaman di bandrol Rp 3 Juta. Karena tidak membawa uang tunai Azhar kembali esoknya. Apa mau dikata ketika dia datang naskah itu sudah dibeli orang Malaysia (lihat Naskah Kuno di Kedai Kopi).

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Senin, 14 Juli 2008, 14:48 WIB)

ADA UANG, NASKAH MELAYANG


Dikutip dari Majalah Tempo hal 25 edisi 23 Juli 2006

Ribuan naskah kuno dari Kepulauan Riau melayang ke negeri tetangga. Pemerintah daerah harus bertindak cepat.

Dari Kejauhan Kepulauan Riau, cerita ini dating menampar. Ribuan Naskah Melayu kuno dengan usia diatas seabad melayang ke negeri seberang Singapura, Brunei, tapi umumnya Malaysia. Telah 20 tahunan praktek ini terjadi. Satu demi satu naskah tua itu itu berpindah pemilik : surat-surat antik milik kerajaan lama di pesisir Sumatera, Al-Qur’an tua yang ditulis tangan, pelbagai syair, gurindam, dan catatan cerdik-pandai Riau tempo dulu.

Malaysia dan Singapura memang sedang giat-giatnya mengumpulkan naskah Melayu Kuno. Telah lama mereka memendam cita-cita : menjadikan negaranya menjadi pusat kebudayaan Melayu. Diluar itu, ada pula konsumen yang membelinya untuk koleksi pribadi atau dijadikan barang investasi. Di dalam negeri, belenggu kemiskinan membuat pemilik naskah tak banyak punya pilihan : menjual harta karun itu lebih baik daripada membiarkan perut tidak berisi.

Hokum tentu melarang praktek ini. Undang-undang No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya jelas-jelas tak mengizinkan transaksi artefak budaya yang berumur sedikitnya 50 tahun. Ganjaran bagi yang melanggar: 10 tahun penjara atau denda setingi-tinginya Rp 100 Juta.

Memang ada problem klasik soal anggaran yang minim dan kesadaran penduduk yang rendah akan pentingnya memelihara benda-benda itu. Jangankan mencegah warisan itu melayang pergi, menginvetarisasinya saja kita belum mampu. Pemerintah pusat, melalui Balai Kajian Sejarah dan Tradisional di Riau, hanya punya anggaran 2 miliar setahun, itupun untuk lingkup Kepulauan Riau, Jambi dan Bangka Belitung.

Sampai disini, yang dibutuhkan asalah kreativitas pemerintah daerah. Kepulauan Riau sejatinya bukan provinsi yang miskin-miskin amat. Kalaupun misalnya dana tidak tak ada, mereka bias bekerjasama dengan pelbagai lembaga dalam dan luar negeri yang punya perhatian terhadap artefak masa lalu. Pemerintah Malaysia dan Singapura dengan prasangka baik bahwa mereka tidak ingin menuasai sendiri warisan pubakala itu, bisa diaja bekeja sama.

Kita memang tidak sedang berbicara tentang nasionalisme sempit diatas fakta bahwa, di tangan penduduk, naskah-naskah itu hanya akan menjadi barang lapuk. Kita sedang berbicara bagaimana menjaga buku-buku tua itu agar tek lekang oleh zaman-seraya sedapat mungkin tak memindahkannya dari tempat asalnya. Ada memang argumen yang mengatakan lebih baik jika benda sejarah itu dipelihara di luar negeri ketimbang redam di negeri sendiri. Artefak kita yang tersimpan di negeri Belanda, misalnya, toh lebih terawat ketimbang yang ada di Museum Nasional.

Tapi pandangan minimalis ini mestinya bisa dibantah dengan mengatakan bahwa sekarang adalah era otonomi, ketika daerah punya hak penuh untuk mengelola asetnya. Menyelamatkan naskah-naskah kuno hendaknya jua dibaca sebagai upaya meningkatkan parawisata daerah yang akhirnya bisa mendatangkan devisa.

Disinilah pemerintah local beradu lari dengan konsumen luar negeri. Pasar barang antik tidak mengenal batas negeri: ia akan mengalir ke arah uang melambai. Tanpa identifikasi dan pengelolaan yang jelas, naskah kuno akan raib tak tentu rimba. Jika ini terjadi, publik jelas dirugikan karena mereka akan kehilangan akses. Masa lalu tidak hidup untuk dirinya sendiri: benda sejarah ada untuk dipelajari dan diapresiasi.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Senin, 14 Juli 2008, 08.35 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 09.29 0 komentar  

Pandangan Tentang Sejarah Riau (selesai)

Jumat, 11 Juli 2008


Kutipan Buku : Dari Perbendaharaan Lama

Karya Prof. Dr. Hamka

Bagian kesembilan

Akhirnya saya sampaikan seruan kepada IAIN di Riau agar turut aktif memasak dan menggali Sejarah Riau ini. Karena melihat bahan-bahan dan Bibiliografi pembacaan Draft Sejarah Riau, masih banyaklah pengambilan dari buah tangan Belanda. Sumber Arab sangat jarang, kecuali yang ditemui oleh sarjana Pakistan Prof. Fatemi tadi.

Dan kepada sarjana-sarjana angkatan muda di Riau baik dari UNRI atau dari IAIN, saya serukan, janganlah diabaikan huruf pusaka kita, yaitu huruf Arab yang telah kita pakai beratus tahun lamanya. Di Malaysia di sebut huruf Jawi, sedang di Indonesia disebut huruf Melayu. Kasihan huruf pusaka Islam itu, Indonesia menolak ke Melayu, Malaysia Menolak ke Jawa, akhirnya terbenam di Selat Malaka. Lalu karena Indonesia dan Malaysia Sudah Merdeka dari penjajahan bangsa Barat, kita gantilah huruf pusaka penjajah. Dengan demikian jadi sukarlah kita menggali sumber keberadaan nenek moyang kita yang tersimpan dalam huruf itu. Sehingga Ajaran Abdurrauf Singkel, Dr. Rinkeslah yang menggalinya, Hamzah Faisuri digali oleh Doorensbos, Syamsyudin Sumantri digali NuwenHuyze. Kita sendiri tidak sampai ke sumbernya. Kalau tidak apa-apa yang disuguhkan sarjana-sarana Barat tersebut.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, 08 Juli 2008 17:09)

Pandangan Tentang Sejarah Riau 8


Kutipan Buku : Dari Perbendaharaan Lama

Karya Prof. Dr. Hamka

Bagian kedelapan

Tentang kata-kata Siak

Pengantar acara penyusun Sejarah Riau telah menguraikan beberapa pendapat penting tentang arti kata siak, yang menjadi nama dari sungai yang mengalir di sini, dan kemudian menjadi nama dari sebuah kerajaan yang berdiri di tepi sungai itu. Bahwa ada satu qaul (pendapat) tentang arti orang Siak yaitu orang yang dianggap ahli ibadah dalam Agama Islam. Ada pula yang mengatakan bahwa Orang Siak itu ialah lebai-lebai atau marbot-marbot mesjid. Saya sendiripun pernah mendengar tentang itu.

Di Minangkabau, sampai saat sekarang ini dalam bahasa sehari-hari, yang disebut Orang siak, ialah orang-orang yang ahli Agama Islam. Sama artinya dengan pengertian orang Jawa tentang santri. Dan orang semcam saya ini kalau di Minang, termasuk golongan orang Siak. Dan kalau seseorang hidupnya tekun beragama, dikatakan orang;” Si Fulan itu Siak benar.”

Tetapi di Semenanjung Tanah Melayu (Malaysia Barat) umumnya orang yang disebut Siak memang pengurus-pengurus harian mesjid. Kadang-kadang diartikan orang-orang Siak ialah orang-orang yang ditugaskan mengurus, memandikan dan menyembahyangkan jenazah.

Bagaimanapun diartikan, baik tinggi di Minangkabau atau agak ke bawah cara Malaysia, namun kata Siak terang sekali dalam anggapan orang Melayu sangat bertali erat dengan agama.

Tetapi dari kata-kata orang siak ini saya pernah mendengar dari almarhum Dr. Syekh Abdullah Ahmad, Ulama Besar yang terkenal di Minangkabau (meninggal 1934), bahwa pepatah Minangkabau yang terkenal; “Adat menurun, syara’Mendaki” mendaki adalah dari negeri Siak ini. Beliau menolak tafsiran yang umum pada masa itu, yang mengatakan Syara’ mendaki dari ulakan Pariaman, yang dibawa oleh syekh Burhanuddin Ulakan Minangkabau, yang kembali dari Aceh berguru dari Syekh Abdurrauf. Beliau meninggal pada tahun 1111 Hijriyah.

Dr. Syekh Abdullah Ahmad tidak menerima pendapat mendaki dari ulakan itu. Karena dengan demikian baru 250 tahun saja Islam di Minangkabau, atau dua setengah abad. Kata beliau Syara’ mendaki dari Siak. Buktinya kata beliau :

“ Ialah orang-orang yang ahli dalam agama islam, Sejak dahulu sampai sekarang, disebut Orang Siak.”

Siak adalah Minangkabau Timur, sejak Rokan, Kampar dan sekitar Sungai Siak. Jika kelihatan ahli-ahli Agama islam itu, mereka dihormati dan disebut. “Orang Siak” sampai sekarang. Karena itu menurut Dr. Abdullah Ahmad.

“Nenek moyang tuan-tuan dari Kampar”

Daerah Rokan dan sekitar Siak sekarang inilah guru-guru nenek moyang kami, yang mengislamkan kami orang “Mudik” orang pedalaman Minangkabau.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, 08 Juli 2008 16:57 WIB)

Pandangan Tentang Sejarah Riau 7


Kutipan Buku : Dari Perbendaharaan Lama

Karya Prof. Dr. Hamka

Bagian ketujuh

Saya kemukakan ini semua supaya saudara-saudaraku di Riau jangan menyebut asli dan tidak asli. Dan berdasar kepada ini juga saya minta di tinjau kembali keterangan bahwa penduduk Kepulauan Riau sekarang ini ada disebut orang suku Jawa, Suku Minangkabau, Suku Banjar dan lain sebagainya, yang tersebut dalam Draft Sejarah Riau hal. 45 terutama tentang Minangkabau. Oleh karena telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sejarah Riau ialah setelah Riau menjadi Propinsi sekarang ini kurang enak dirasakan kalau pedagang yang datang dari daerah Sumatra Barat itu disebut dalam buku catatan Ilmiyah sebagai seorang pedagang atau penduduk dari Minangkabau. Lebih tepat kalau dikatakan penduduk yang berasal dari Sumatra Barat. Karena Kampar Kiri, Kampar Kanan, Rokan bahkan Kuantan sampai ke batas Peranap, semua sekarang masih mengakui beradat pusaka secara Minangkabau, baik Perpatih atau adat Temenggung (Kota Piliang atau Budi Caniago). Kata-kata keempat suku (yang berasal dari sempat suku yang berasal dari Pariangan Padang Panjang, Koto dan Piliang dan Budi dan Caniago, di nagari-nagari itu masih dipakai sampai sekarang), meskipun mereka sudah dalam propinsi Riau. Datuk-datuk yang jadi pemimpin bagi kemenakannya, masih tetap ada di Kuantan, di Kuok, Air Tiris, Bangkinang dan Rumbio. Bahkan bahasa Minangkabau masih lebih banyak terpakai dari bahasa Melayu. Semua mereka itu adalah Minagkabau.

Tetapi 1.000 kali saya minta maaf jika saya kemukakan sedikit bandingan itu, karena bandingan yang tidak berarti itu tidak akan melukai kehebatan susunan Sejarah Riau ”Gading Bertuah” ini, bahkan mungkin sekali bandingan ini entah semosionil, karena saya kebetulan berasal dari Minangkabau, bersuku bersako, tetapi sekarang penduduk Jakarta yang berasal dari Propinsi Sumatra barat.

Lain dari itu saya jelaskan pula bahwa aliran pikiran islam telah masuk ke Indonesia dalam Abad masehi yang ketujuh ini telah saya kemukakan di Seminar masuknya Islam ke Sumatra Utara pada bulan Maret 1962 di Medan. Prasaran saya tentang itu diterima baik oleh seminar di Medan tersebut. Maka dengan diterimanya pula pendapat AlmarhumUstadz Tamin di seminar Kebudayaan Minangkabau di Batu Sangkar pada akhir Juli 1970, bertambah kokohlah pendapat itu. Dan dengan mantapnya pula dalam seminar Sejarah Riau bulan Mei 1975 ini, bertambahlah saya merasa bahagia, bahwa islam masuk di Abad Ketujuh Hijriyah tidak ganjil lagi terdengar di telinga.

Pendapat kita tentang masuknya Agama Islam ke tanah air kita tidak lagi semata-mata menurut kepada apa yang ditentukan oleh Kaum Oirentalis Barat, melainkan mulai ada penghargaan terhadap pendapat dari pihak sendiri, sehingga tidak ganjail terdenga di telinga. Jika dikatakan abad pertama Islam, agama ini telah masuk ke negeri ini. Dan sudah ada orang yang berani mengatakan misalnya :

”Menurut Snouck hougronye dan schrieke, Islam masuk ke Indonesia abad ke tiga belas, tetapi menurut penyelidikan HAMKA di abad Hijriyah pertama sudah mulai masuk!”

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Selasa, 08 juli 2008 14:12 WIB)

Pandangan Tentang Sejarah Riau 6


Kutipan Buku : Dari Perbendaharaan Lama

Karya Prof. Dr. Hamka

Bagian keenam

Tetapi yang kita ambil ialah bait pertama pantun, yang membuktikan bahwa orang Bajau yang suka berlayar itu pernah juga mudik ke Hulu Jambi, memudiki Sungai Batang hari mungkin sampai ke Sungai Dareh. Dengan alasan itu dapat kita buktikan bahwa orang Bajau pun salah satu unsur Melayu Riau. Karena tidak akan dikarang orang saja pantun berpangkal demikian, kalau tidak pernah kejadian.

Tentang orang Jawa demikian pula. Lama sebelum Majapahit mengembangkan sayapnya ke Malaka, di pulau Tumasik (Singapura) sendiri terdapat banyak orang dari Jawa. Di zaman kebesaran Malaka tersebut bahwa orang Jawa banyak membuat kampung di Malaka.

Banyak juga Melayu peranakan Arab. Mereka telah banyak tersebut sejak berdirinya Kerajaan Pasai Pertama, di zaman Al Malikush Shaleh. Mereka datang dari Mekkah dan Madinah, dan lebih banyak yang dari Hadramaut. Ke mari umumnya tidak membawa istri. Mereka kawin dengan penduduk yang ditempati. Dengan segala hormat mereka diterima sebagai menantu. Lebih-lebih keturunan bangsa Sayid, yang disebut keturunan Rasulullah Saw. Raja-raja Melayu banyak menerima mereka jadi menantu. Kadang-kadang raja tidak mempunyai keturunan laki-laki. Lalu dirajakan anak laki-laki dari anak perempuan raja. Anak itu berayah Arab tadi. Si cucu itu naik tahta. Di Riau terkenal Sayid Muhammad Zain Al Qudsi, yang disebut Engku Kuning. Setelah habis keturunan Raja Kecil Sultan Abduljalil Rahmat Syah yang berhak menjadi raja, diangkat oranglah yang menjadi Sultan Siak cucu beliau, bangsa Sayid dari keturunan Bin Syahab. Bersaman dengan itu dirajakan orang pula keturunan Alkadri di Pontianak. Jadi raja di Pelalawan keturunan Bin Syahab. Di Perlis (Malaysia) dirajakan bangsa Sayid dari keturunan Jamalullail. Keturunan raja-raja Melayu bangsa Sayid ini kekal berkembang biak menjadi orang Melayu. Itulah sebabnya dalam seminar kita ini kita dapati anggota seminar Melayu Riau orang Indonesia sejati keturunan Arab, seumpama Sayid Husin Al Qudsi, Sayid Muhammad Umar, Tengku Sayid Umar, Tengku Sayid Nasir, Tengku Sayid Arifin. Sebagai keturunan raja-raja melayu mereka memakai gelar Sayid. Sahabat saya almarhum Engku Bot, yang di zaman sebelumnya perang menjadi Setia Usaha (Sekretaris) Sultan Siak, nama Melayunya Engku Bot, nama arabnya Sayid Muhsin vin Khalid bin Syahab.

Ada juga melayu keturunan Keling. Yang disebut Keling dimasa itu ialah yang berasal dari negeri India, Pakistan dan Bangladesh dan Afganistan sekarang ini. Dalam Sejarah Melayu, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi ada juga menyebut bahwa orang-orang Kabul itupun banyak terdapat di Malaka. Melayu keturunan Keling ini ini sebelum Malaysia merdeka terkenal dengan sebutan ”Melayu Pekan”.

(Pekanbaru, Sekretariat UKMI Ar-Royyan UNRI, 06 Juli 2008 17:53 WIB)

Krisis Kepemimpinan di Riau

Rabu, 09 Juli 2008

Riau bakal akan kehilangan pejabat Publik. Karena banyak pejabatnya yang tersandung kasus Korupsi.paling anyar Bulyan Royan, Maantan Bupati Azmun Ja'far, Bupati Kampar, mantan Kadishut juga hampir tersandung, menunggu giliran pemerikasaan sebagai tersangka. Demikian juga dengan dua mantan Kadishut lainnya, mungkin akan membuat calon Gubri Rusli Zainal juga akan masuk dalam daftar. Apakah yang gerangan akan terjadi. Krisis….

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 00.17 0 komentar  

Raja Haji Fisabilillah Bapak Kemerdekaan Tanah Melayu

Sabtu, 05 Juli 2008


Riau yang dulunya sebuah daulah yang dikenali sebagai Johor-Riau dan mempunyai perkaitan yang rapat dengan Tanah Melayu dan Singapura, menjadi terpinggir daripada sejarah Tanah Melayu setelah ianya diserapkan kedalam Indonesia. Dan dengan secara otomatis sejarah Riau menjadi sejarah Indonesia. Meminggirkan sejarah adalah sikap kita sendiri disebabkan tidak mau meletakkan keutamaan kepada apa-apa yang telah menjadi milik sejarah negara-negara lain.

Padahal sejarah Riau adalah juga sejarah kita. Pahlawan-pahlawan Riau adalah juga pahlawan kita.

Setelah kejatuhan Melaka, dan seterusnya kerajaan Johor-Melaka, kesultanan Melayu bangun kembali dengan didaulatkan oleh king makers lima bersaudara berketurunan Bugis, daripada keluarga Daing Rilaka yang berasal dari keturunan raja Luwok dari tanah Bugis, yang menetap di Kelang. Mereka adalah terdiri dari Daing Perani, Daing Menambun, Daing Merewah, Daing Chelak dan Daing Kemasi. Mereka bersaudara inilah pendiri dan pembekal modal insan untuk institusi raja-raja terutamanya di Johor-Riau, Pahang, Terengganu, Selangor, dan Perak.
Kesultanan Johor-Riau yang terbentuk pada 1722 dilantik oleh mereka, dan begitu juga kesultanan Terengganu melalui perlantikkan Sultan Zainal Abidin I, pemula silsilah Yang di-Pertuan Agung pada hari ini, pada 1725. Kesultanan Selangor yang bergalurkan dari Raja Lumu (1742 - 1778) adalah juga dari istana Bugis.

Ada yang berpendapat bahawa keluarga Daing Rilaka atau dikenali sebagai Opu Tenriburong, adalah lanun laut (pirates) dari Bugis. Ini adalah sebagai satu helah untuk memperlekehkan institusi raja-raja Tanah Melayu. Memang banyak sekali peperangan yang dipelopori mereka, tetapi itu adalah untuk menentang penjajahan Portugis dan Belanda di tanah Melayu pada waktu itu. Pengelibatan mereka semata-mata kerana ingin membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan, dan secara kebetulannya pula raja-raja yang dalam negeri yang berkait adalah dari kaum kerabat mereka. Peperangan-peperangan itulah sebenarnya permulaan perjuangan untuk kemerdekaan tanah air.

Kenapa pengiktirafan untuk pelopor-pelopor kemerdekaan tidak diberi kepada kesemua yang terlibat dalam perjuangan berdarah semenjak dua ratus tahun sebelumnya? Bukankah mereka sebenarnya bapa-bapa kemerdekaan Tanah Melayu yang sohih?
Tidak mencukupi dengan penguasaan Melaka, penjajah Belanda turun pula ke Selatan, ke Riau, untuk menghancurkan kerajaan Riau yang ketika itu menjadi pusat dagangan baru di rantau Tanah Melayu. Akhirnya Riau bertindak balas dan bermulalah peperangan antara Riau dan Belanda. Selepas menenggelamkan kapal perang Belanda, Welvaren, Raja Haji sebagai Yamtuan Muda ke-IV Riau, telah mengusir Belanda dari pelabuhan Riau dan mengejar mereka hingga ke Melaka.

Entah apalah tebiat Sultan Mansur* (Tun Dalam), Sultan yang memerintah Terengganu pada tahun 1733 – 1793, sewaktu Raja Haji menyerang Belanda di Melaka pada tahun 1784, baginda Sultan telah bersubahat dengan Raja Muhammad Ali putera Raja Alam di Siak, untuk membantu Belanda dalam peperangannya dengan pihak Raja Haji.
Setelah selama 6 bulan Melaka dikepung oleh tentera-tentera Islam, ternyata pertahanan Belanda lebih kuat dan akhirnya tentera Islam tewas dengan terkorbannya Raja Haji di Teluk Ketapang.

Diceritakan pada saat beliau mangkat, pada tangan kanannya memegang pedang perangnya dan pada tangan kirinya memegang kejap kitab Dalaail Khairat, himpunan solawat karangan Sheikh Al Jazuli yang mashyur.

Wafatnya adalah pada hari Rabu di Teluk Ketapang, Melaka, pada 19 Rejab 1198 H/8 Jun 1784 M. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un. Raja Haji bin Upu Daeng Celak adalah adik kepada Raja Lumu, Raja Selangor yang merupakan nenek moyang kepada kesultanan Selangor pada ketika ini.

Mengikut kajian Almarhum Wan Mohd Saghir, dalam Tuhfat an-Nafis meriwayatkan kejadian aneh terhadap jenazah Raja Haji setelah mangkat dalam keadaan syahid fisabilillah seperti berikut:
“Syahdan adalah aku dapat khabar daripada itu daripada orang tua-tua yang mutawatir, adalah sebelum lagi ditanamnya mayat Yang Dipertuan Muda Raja Haji, al-Marhum itu, maka ditaruhnya di dalam peti hendak dibawanya ke Betawi, sudah sedia kapal akan membawa jenazah al-Marhum itu. Maka menantikan keesokan harinya sahaja, maka pada malam itu keluar memancar ke atas seperti api daripada peti jenazah al-Marhum Raja Haji itu. Maka gaduhlah orang Melaka itu melihatkan hal yang demikian itu. Di dalam tengah bergaduh itu kapal yang akan membawa jenazah al-Marhum itu pun meletup, terbakar, terbang ke udara segala isinya serta orang-orangnya. Seorang pun tiada yang lepas.

Syahdan kata qaul yang mutawatir, tiadalah jadi dibawa jenazah al-Marhum itu pindah ke negeri yang lain. Maka ditanamkan jua di Melaka itu, hingga datang diambil dari negeri Riau adanya. Dan kata setengah qaul yang mutawatir sebab itulah digelar oleh Holanda yang dahulu-dahulu dengan nama Raja Api adanya....” (Tuhfat an-Nafis, Naskhah Terengganu, hlm. 151)
Begitulah pada bulan Rejab ini 223 tahun yang lampau, wafatnya Raja Haji yang diiktiraf oleh Kerajaan Indonesia sebagai Raja Haji Fisabilillah dalam peperangan untuk memerdekakan Tanah Melayu dari penjajahan Belanda.

(Pekanbaru, El-Qi.Net, 05 Juli 2008 23:10 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 09.09 0 komentar  

Tuanku Tambusai Pejuang Melayu Riau


Bermacam-macam ramalan sewaktu anaknya yang dinamakan Muhammad Shalih dilahirkan kerana pada waktu itu terjadi hujan ribut disambut kilat, guruh-petir sabung-menyabung. Tetapi kerana Imam Maulana Qadhi seorang alim yang terpelajar, yang faham akidah Islam beliau tolak sekalian ramalan yang bercorak khurafat secara bijaksana.

Bayi tersebut dipersembahkan kepada Duli Yang Dipertuan Besar Raja, Permaisuri Duli Yang Dipertuan Besar Raja berkata, “Kita doakan apabila dia alim nanti menjadi suluh dalam negeri. Kalau dia seorang berani menjadi pahlawan. Sekiranya dia kaya menjadi penutup malu. Sekiranya dia menjadi cerdik bijaksana adalah penyambung lidah untuk kebenaran dan keadilan." (Rokan Tuanku Tambusai Berjuang, H. Mahidin Said, cetakan kedua, hlm. 30).

Oleh sebab ayahnya seorang Imam Tambusai dan seorang alim sudah pasti Muhammad Shalih mendapat pendidikan awal dan asas daripada ayahnya sendiri. Sungguhpun ketika Muhammad Shalih meningkat dewasa beliau dihantar ke Rao yang lokasinya berdekatan dengan Tambusai. Setelah mendapat pendidikan Islam di Rao dan Bonjol beliau lebih dikenali dengan nama “Faqih Shalih”.

Menurut tradisi di daerah, apabila seseorang itu menguasai ilmu fikah maka dia digelar dengan “Faqih”. Ini bererti Muhammad Shalih sejak muda lagi telah diakui oleh masyarakat sebagai seorang yang alim dalam bidang ilmu fikah. Sudah menjadi lumrah dalam dunia dari dulu hingga kini ada saja raja atau umara (pemerintah) yang sepakat dengan ulama. Yang inilah yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w. Ada pula antara umara yang tidak sepakat dengan ulama. Ulama yang masih muda bernama Faqih Shalih yang tersebut diriwayat memang bertentang dengan raja yang memerintah ketika itu.

Walau bagaimanapun Faqih Shalih meminta nasihat kepada dua orang ulama. Yang pertama ialah Tuanku Imam Bonjol (nama yang sebenarnya ialah Peto Syarif). Yang kedua ialah Tuanku Rao (nama yang sebenarnya dipertikai pendapat). Kedua-duanya menasihatkan supaya Faqih Shalih pergi haji ke Mekah. Sewaktu di Mekah, Faqih Shalih sempat memdalami ilmu di sana. Di antara ulama yang sedaerah dengannya (yang saya maksudkan berasal dari persekitaran Minangkabau, Tapanuli dan Riau) di antaranya ialah Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi an-Naqsyabandi dan lain-lain.

Beliau ini termasuk murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dipercayai Faqih Shalih selama berada di Mekah sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu.

Dalam zaman yang sama ada Muhammad Shalih bin Muhammad Murid Rawa dan ada pula Faqih Shalih sedang Tuanku Rao tidak diketahui nama sebenarnya. Ada pendapat bahawa Tuanku Rao seorang guru pada Faqih Shalih. Ada kemungkinan Tuanku Rao adalah orang tua (ayah Faqih Shalih).
Setelah kembali dari Mekah, Faqih Shalih lebih dikenali "Haji Muhammad Shalih". Dan selanjutnya dalam Perang Imam Bonjol atau Perang Paderi, beliau lebih dikenali sebagai "Tuanku Tambusai" selanjutnya digunakan nama ini.

Sudah menjadi sejarah perkembangan dunia bahawa sama ada disukai atau pun tidak, peperangan bila-bila masa boleh terjadi. Agama Islam bukanlah agama yang menganjurkan peperangan tetapi jika ada usaha-usaha agama selainnya menodai Islam maka konsep jihad memang sudah menjiwai hampir seluruh individu Muslim. Hal ini adalah hampir sama dengan jiwa kebangsaan individu sesuatu negara atau sesuatu bangsa bahawa hampir setiap individu dalam sesuatu negara adalah tidak suka negaranya dijajah.
Memperjuangkan sesuatu negara atau bangsa telah menjiwai setiap penduduk dunia sama ada yang beragama Islam dan agama-agama lainnya termasuk orang yang tidak beragama sekalipun. Oleh sebab Belanda telah menjajah Minangkabau, Sumatera Barat, maka adalah wajar rakyat bertindak melawan penjajah itu apatah lagi yang datang menjajah itu tidak seagama pula.

Tuanku Tambusai dan kawan-kawan bersamanya bergabung dalam satu wadah yang dinamakan "Kaum Paderi" yang dipimpin oleh Peto Syarif yang kemudian terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. "Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai bekerjasama dalam perjuangan tetapi tidak bererti yang satu membawahi yang lain kerana mereka merupakan tokoh-tokoh yang otonom." (Menurut buku, 101 Pahlawan Nasional, Departemen Sosial Republik Indonesia hlm. 517).

Kemunculan Tuanku Tambusai dengan pasukannya di bahagian utara terutama sekitar daerah Hulu Sungai Rokan menyebabkan Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda lebih lama kerana pasukan Tuanku Imam Bonjol posisinya di bahagian tengah. Taktik dan strategi perang diatur dua bahagian oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Tuanku Rao melalui Padangsidempana dan Tuanku Tambusai melalui Padanglawas, Gunung Tua, Bilah Panai berhimpun di Sipiruk. Pada mulanya Belanda telah menguasai Bonjol pada bulan September 1832 akhirnya terpaksa keluar pada Januari 1833 akibat serangan Kaum Paderi yang diperanani oleh Tuanku Tambusai.

Dalam perang melawan penjajah Belanda itu di antara jasa besar Tuanku Tambusai, beliau dapat menyatupadukan tiga etnik iaitu Minangkabau/Rao, Melayu dan Mandailing. Bahawa mereka bersatu tekad dan semangat bumi pusaka bukan milik bangsa penjajah. Bumi ini adalah kepunyaan bangsa kita yang beragama Islam.

Membela agama Islam dan tanahair adalah wajib. Menang dalam peperangan bererti mencapai kemerdekaan. Jika mati dalam perjuangan adalah mati syahid. Menang bererti beruntung. Jika mati pun beruntung juga. Orang yang tidak mengenal bangsa, tanahair dan Islam agamanya, yang tiada perjuangan itulah yang sebenar-benar rugi pada hakikatnya.

Apabila kita menoleh zaman lampau etnik yang tersebut mendiami daerah yang sangat luas, yang pada masa ini terbahagi dalam tiga daerah iaitu; daerah Sumatera Barat majoriti penduduknya ialah Minangkabau, daerah Riau Daratan majoriti penduduknya ialah Melayu dan daerah Sumatera Utara majoriti penduduknya ialah Batak dan yang beragama Islam mempunyai nama tersendiri iaitu Mandailing.

Daripada rakaman ini kita dapat membayangkan bahawa Tuanku Tambusai mempunyai kehebatan atau kekuatan yang tersendiri sehingga beliau dapat menyatupadukan etnik dalam bumi yang demikian luas itu. Setelah banyak mengapai kemenangan dan keberhasilan perjuangan, Tuanku Tambusai menjadikan pusat perjuangan, pentadbiran dan pertahanan di Dalu-Dalu (sekarang dalam daerah Riau Daratan).

Sampai tahun 1838 Tuanku Tambusai masih tetap bertahan sehingga Belanda tidak dapat masuk ke Inderagiri Hulu (Riau Daratan). Tuanku Tambusai adalah seorang ulama dan pahlawan yang berpendirian keras tidak mahu berunding dengan pihak penjajah Belanda. Beliau faham benar bahawa berunding dengan pihak penjajah Belanda bererti menyerah diri atau terperangkap dengan umpan lazat yang disediakan pemburu.

Sudah banyak contoh yang beliau bandingkan seumpama Tuanku Imam Bonjol sendiri terkorban bukan sebagai syahid di medan peperangan tetapi adalah tertipu kelicikan pihak penjajah Belanda. Tuanku Tambusai berpendirian terus berjuang sekiranya tidak berhasil hijrah ke Negeri Sembilan beliau memilih jalan terakhir iaitu mati sebagi syahid lebih utama daripada berunding apatah lagi menyerah kepada pihak musuh.

Pendirian keras Tuanku Tambusai seperti tersebut itu ada orang yang tidak menyetujui dan ramai pula yang menyetujuinya. Jika kita teliti sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan pendirian Tuanku Tambusai itu ada benarnya. Kerana hampir semua pemimpin yang mahu berunding dengan penjajah Belanda adalah merugikan pemimpin pejuang. Yang untung adalah pihak Belanda sendiri.
Semua pemimpin yang menerima perundingan ditangkap akhirnya dibuang keluar dari negeri asalnya. Peristiwa Tuanku Tambusai dapat kita bandingkan dengan peristiwa dunia antarabangsa sekarang ini, ada negara yang tidak menerima perundingan dengan Amerika seperti Iran tentang isu nuklIr. Ada negara menerima perundingan tetapi tidak mudah menerima tipu helah Amerika seperti Korea Utara. Iraq akhirnya menerima perundingan. semua itu hanyalah merugikan Iraq sendiri menjadi negara yang dijajah oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.

Pengorbanan tenaga, harta dan pemikiran Tuanku Tambusai adalah besar, kecuali jiwa dan raganya saja dapat berhijrah ke Negeri Sembilan. Peristiwa beliau hampir serupa dengan gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam perang Patani melawan pencerobohan Siam bahawa beliau hijrah ke Pulau Duyung Kecil, Terengganu. Hijrah seseorang tokoh atau ulama bukan bererti lari tetapi bertujuan menyusun taktik dan strategi untuk mencapai kemenangan yang diredai Allah di dunia dan akhirat. Dengan tidak menafikan perjuangan Tuanku Tambusai beliau telah diberi gelaran, ‘Pahlawan Nasional Republik Indonesia’ dengan SK. No. 071/TK/Tahun 1995, Tanggal 7 Agustus1995.

(Pekanbaru, El-Qi.Net, 05 Juli 2008 22:55 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 08.47 0 komentar