Perjuangan Tengku Sulung

Sabtu, 05 Juli 2008

Tengku Sulung diperkirakan lahir di Lingga, Kepulauan Riau. Sejak Kecil, Sulung dididik dengan ajaran Islam yang ketat. Pemahamannya tentang Agama Islam membuatnya tidak suka dengan Belanda. Bahkan Dia tidak mau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.

Pada masa ramaja, Tengku Sulung pernah pergi ke Kalimantan dan dilatih mengarungi laut. Bahkan di Kruang Kalimantan, dia pernah tertembak sehingga mengenai bagian mukannya yang membekas sampai masa tuanya. Tengku Sulung bersama seorang sahabatnya, Encik Montel menjadi pemimpin bajak laut yang tersohor dan menetap di Kalimantan. Setelah tertangkap dan kemudian diberikan pengampunan oleh Komisaris Du Bus De Giusignies Tengku Sulung diperkenankan tinggal di sepanjang Sungai Reteh dengan syarat yang diajukan bahwa ia harus melepaskan pekerjaan membajak. Hal ini memang ditaatinya sungguh-sungguh.

Tengku Sulung memperoleh kedudukan sebagai Panglima Besar Reteh setelah Sultan Muhammad, Sultan Lingga yang berkuasa di Reteh. Waktu itu Sulung tidak mau tunduk pada Sultan Sulaiman yang diangkat oleh Belanda untuk kawasan yang sama, menggantikan Sultan Mahammad. Semula Tengku berkedudukan di Kotabaru Hulu Pulau Kijang sekitar 16 mil dari Pulau Kijang. Di Desa ini Tengku Sulung membangun Benteng yang kelak ditandai dengan adanya Desa Benteng di Hulu Sungai Batang. Benteng ini dibangun di kawasan seluas 2 hektar. Sekitar 3 Km dari benteng ini terdapat rumah Tengku Sulung berupa benteng kecil yang ditumbuhi pohon dedap. Dibenteng itulah pertahanan Tengku Sulung dan pasukannya dalam melawan Belanda yang datang dari pusat keresidenan di Tanjung Pinang. Tengku Sulung sangat didukung oleh pasukannya baik yang berdiam di Hilir maupun di Hulu Kotabaru.

Akibat tindakannya yang sering mengganggu pelayaran Belanda di sekitar perairan Kepulauan Riau membuat pihak Belanda menjadi marah dan pada tanggal 13 Oktober 1858, pasukan Tengku Sulung dikepung oleh Belanda dari berbagai jurusan. Namun Tengku Sulung masih mendapat bantuan dari orang-orang Melayu asli Reteh, Enok dan Mandah. Bahkan Pasukan dari Indragiri secara menyamar membantu perjuangan Tengku Sulung.

Perjuangan Tengku Sulung dan Pasukannya terhenti setelah Belanda membawa Haji Muhammad Thaha, juru tulis Tengku Sulung yang sebelumnya tertangkap oleh Belanda di Kotabaru. Waktu itu, Tengku Sulung di ultimatum oleh Residen Belanda supaya menyerah kepada Komandan Ekspedisi. Namun Tengku Sulung masih memberikan perlawanan, karena kekuatan Tengku Sulung yang tidak berimbang dibanding Pasukan Belanda, akibatnya penyerangan Belanda pada tanggal 7 November 1858 banyak menewaskan rakyat Reteh dan Tengku Sulung sendiri juga ikut tertembak di bagian leher oleh pasukan Belanda pada saat sedang memeriksa tembok benteng.

Sebenarnya peralawanan tengku sulung terhadap belanda adalah akibat campur tangan belanda yang sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat, demikianlah yang terjadi di kesultanan Indragiri dan kesultanan melayu lingga riau. Akibat dominasi politik dan eksploitasi ekonomi yang dilakukan colonial belanda maka mertabat dan kehormatan sultan dimata rakyat terkoyak-koyak oleh belanda, oleh sebab itulah perlawanan di idragiri hilir melawan belanda ada yang dipimpin lansung oleh sultan para panglima perang mendapat dukungan rakyat, akibat rasa tidak puas dan kebenciannya pada penjajah Belanda. Setiap perlawanan itu mempunyai sebab dan alasan (kausalitas) yangsama yaitu untuk mengusir penjajahan belanda sebagai manifestasi kesadaran nasional sepeti alnya perjuan yang di pimpin oleh Panglima Besar Tengku Sulung.

Perbutan kepentngan antar belanda dan clan ingris di imperium melayu telah menyebabkan kebesaran imperium melayuperlahan-lahan mulai sirna. Belanda yan telah mampu mengikat imperium melayu dengan suatu perjanjian setelah perang riau pada tahun 1784, terus berusaha untuk campur tangan dalam system pemerintahan imperum Melayu.
Perjanjian yang dibuat oleh belanda dan Inggris, dikenal dengan Traktat London1824 menyebabkan pecahnya kemaharajaan melayu riau menjadi dua bagian, riau lingga merupakan bagian daari jajahan belandan dan johor pahang menjadi jajahan inggris.

Belanda yang telah merasa mempunyai kekuasaan di riau lingga mengadakan perjanjian baru pada tahun 1830 yang menetapkan belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan ditempatkan seorang residen di riau lingga beekedudukan di Tanjung Pinang, semua tindakan sultan dan yang dipertuan muda harus mendapat persetujuan residen.

Dan belanda mengadakan perjanjian lagi pada tanggal 11 juni 1837 isinya tentang tindakan untuk menjaga keamanan pelayaran dilautan dan disungai-sungai di Riau antaa belanda dan Inggris, ditetapkan pula perjanjian yaitu untuk memberantas bajak laut di perairan Riau, pemerintah inggris dan belanda kapan perlu bertindak sendiri-diri tampa memberitahu kepada sultan. Selain itu sultan harus menghukum rakyat yang melakukan pembajakan itu (Dra. Maliha Aziz dan Asril Spd:128)

(Pekanbaru, El-Qi.Net, 05 Juli 2008 22:40 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 08.40  

1 komentar:

saya selalu senang bila bertemu bacaan-bacaang yang mengisahkan kisah-kisah perjuangan, apalagi ini adalah kisah perjuangan di daerah Riau. dimanakan saya bisa mendapatkan informasi yang lebih mendetail mengenai kisah perjuangan tengku sulung?

tuah mengatakan...
21 April 2009 pukul 19.01  

Posting Komentar