Pandangan Tentang Sejarah Riau 4

Jumat, 04 Juli 2008

Kutipan Buku : Dari Perbendaharaan Lama

Karya Prof. Dr. Hamka

Bagian keempat

Teori Prof. Fatemi

Setelah saya turut pula membaca beberapa buku dan khusus mmbaca tulisan analisa Prof. Fatemi dari Pakistan yang pernah menjadi Profesor tetamu di University Malaya sekitar tahun 1960 yang dimuat dalam majalah ilmiah “Islamic Studien” yang terbit di Karachi pada bulan maret 1962. menurut teori beliau Pusat Kerajaan Sriwijaya adalah Muara Takus. Beliau salin apa ang ditulis oleh Pujangga Arab terkenal Al Jahizh dalam bukunya “Kitab al Hayawan” ketika membicarakan tentang al Fiil (gajah) dalam fasal huruf Al faa. Dikatakan bahwa Maharaja Hindi pernah pernah berkirim surat kepada Khalifah Mua’awiyah bin Abi Sufyan (sahabat Rasulullah). Pendiri Dinasti Bani Umayah dan berkirim surat kepada Umar bin Abdil ‘Aziz dari Khalifah Bani Umayah juga. Dalam surat itu Maharaja menyebutkan alamat-alamat kebesaran atau urutan-urutan gelarnya, diantara bahwa baginda mempunyai kendaraan 1.000 ekor gajah, mempunyai dayang inang pengasuh di istana 1.000 puteri anak raja-raja yang bernaung di bawah payung panjinya. Baginda mengucap terima kasih atas Khalifah Umar bin Abdil Aziz yang telah bersedia mengirimkan beberapa barang hadiah.

Menurut Fatemi telah diselidikinya dengan seksama, maka di anak benua Hindi (India) sendiri tidaklah terdapat sorang Maharaja yang berkekayaan dan berkemegahan sebesar itu di waktu itu. Apatah lagi baginda menyatakan bahwa negerinya kaya dengan emas. Fatemi berpendapat bahwa Maharaja itu tidak lain dari Maharaja Sriwijaya. Setelah diperbandingkan dengan keterangan Scniger “The Forgotten Kingdom In Sumatra” itu dan hasil penyelidikan sarjana ini tentang Muara Takus, bagaimana berdekatannya dengan Gunung Suliki dan memang banyak gajah di sana zaman dahulu dan di Muara Takus itu sendiri terdapat pemandian gajah, condonglah beliau kepada kesimpulan tempat Sriwijaya ialah Muara Takus, di abad hijriyah pertama sudah ada huungan Raja kerajaan tersebut dengan tanah Arab (Damaskus) dan ada keinginan hendak menyelidiki Islam, bahkan mungkin baginda sendiri telah Islam.

Kita tambahkan pula bahwa dalam rangka bekas candi sekarang, ditaksir memang ada dibuatkan patung gajah. Nampaknya gajah termasuk binatang yang sangat penting di masa itu.

Lebih cenderung kita kepada pendapat Fatemi jika ingat dalam Sejarah Islam sendiri, bahwa ketika Hajjaj bin Yusuf di zaman Khalif Abdul Malik bin Marwan, mengirim Pahlawan Muda Muhammad Bin Qasim memasuki benua India yang disebut juga menurut nama sungainya. Sungai Shindu, maka raja-raja di Hindustan yang negerinya dimasuki oleh Pahlawan itu telah menyambut Angkatan Perang Islam itu dengan perang yang hangat, bukan dengan cara damai sebagaimana yang dilakukan Maharaja Hindi yang disebutkan dalam karangan Al Jahizh ini. Inipun menambah berat fikiran bahwa Hindi disini ialah Sriwijaya. Karena sejak zaman dahulu sampai sekarang ini, negeri kita ini masih disebut dengan Hindi. Vietnam masih disebut Al Hindi Shiniyah, atau Indo Cina, dan di zaman dahulu dalam surat-surat orang arab negeri kita disebut dengan Asqhal Hind (Hindi yang jauh). Bahkan sekarangpun kita menyebutnya Indo-Nesia, yang berarti Pulau-pulau Hindi. Bahkan orang Belanda menyebutnya ”mooie Indie” (Hindia yang indah).

(Bangkinang, 04 Juli 2008, Jum’at, 20:00WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 20.18  

0 komentar:

Posting Komentar