Simalakama Dari Tanah Raja Ali Haji 1

Selasa, 15 Juli 2008


Dikutip dari investigasi tempo edisi 23 Juli 2006

Naskah-naskah klasik Melayu Riau diperdagangkan secara terbuka. Memanfaatkan makelar, pembelinya dating dari Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dalam belenggu kemiskinan, pemilik naskah tak banyak pilihan, sementara undang-undang Benda Cagar Budaya yang melarang ini praktis tidak bergigi. Lalu buah simalakama itu tersaji: melepas naskah-naskah itu melayang pergi atau membiarkannya remuk dimakan usia.

Musim kemarau enam tahun silam menjadi saat tidak terlupakan bagi Rahman Yusuf, 47 tahun. Ketika itu buruh tani Desa Resun, kecamatan Lingga, Riau ini tak menyangka akan dikunjungi oleh seorang pengusaha asal johor, Wan Moh Abdullah. Wan dating bersama rekan-rekannya dari Malaysia untuk melihat reruntuhan Kerajaan Riau –Lingga yang diyakini sebagai daerah leluhur mereka.

Desa Resun berada di sepotong jalan menuju Daik, bekas pusat Kerajaan Riau-Lingga. Rute yang lain bisa ditempuh adalah mengarungi Sungai Daik dengan kapal motor. Namun, jika kemarau berkepanjangan seperti tahun 2000 itu, air sungai menyusut drastis sehingga sulit untuk dilalui. Akibatnya, jalan darat hanya satu-satunya pilihan. Dalam perjalanan itulah Wan rehat sejenak di rumah sederhana milik Rahman.

Tak dinyana, pandangan sang tamu tertumbuk pada sebuah Al-Qur’an lapuk. Kitab suci yang beberapa halamannya sudah rompal dimakan rayap itu dibalik-baliknya dengan antusias.”Dia bertanya mau saya jual dengan harga berapa,” Rahman mengulang pertanyaan Wan. Kaget oleh kejadian yang rak pernah terbayangkan itu, ayah tiga anak ini hanya diam. Tapi Wan mengejar terus. Akhirnya mufakat tercipta.”Dia membayar dengan ringgit senilai Rp 5 juta,” ujar Rahman.

Selain Al-Qur’an warisan keluarga, juga segepok perkamen mengenai tasawuf yang sudah menguning, sebilah keris, serta ikat pinggang perak dengan Melayu abad ke-19 yang berpindah tangan. Petang itu kekayaan Rahman bertambah Rp 15 Juta. Rahman berhenti dari pekerjaannya menjadi buruh tani dan memilih menjadi tukang ojek dengan motor baru miliknya sendiri. Sisa uang yang masih ada dijadikan modal untuk warung istrinya.

Kisah Rahman yang mendapat rejeki nomplok dari perkamen klasik adalah hal jamak dari obrolan keseharian masyarakat Riau. Naskah-naskah itu diperjualbelikan layaknya komoditas hasil bumi biasa, bukan barang berharga yang layak dipertahankan. Tengoklah pengalaman Al-Azhar pakar Linguistik dari Universitas Leiden. Di Tanjung Pinang, di sebuah kedai kopi, sebuah perkamen kuno setebal 500 halaman di bandrol Rp 3 Juta. Karena tidak membawa uang tunai Azhar kembali esoknya. Apa mau dikata ketika dia datang naskah itu sudah dibeli orang Malaysia (lihat Naskah Kuno di Kedai Kopi).

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Senin, 14 Juli 2008, 14:48 WIB)

0 komentar:

Posting Komentar