ADA UANG, NASKAH MELAYANG

Selasa, 15 Juli 2008


Dikutip dari Majalah Tempo hal 25 edisi 23 Juli 2006

Ribuan naskah kuno dari Kepulauan Riau melayang ke negeri tetangga. Pemerintah daerah harus bertindak cepat.

Dari Kejauhan Kepulauan Riau, cerita ini dating menampar. Ribuan Naskah Melayu kuno dengan usia diatas seabad melayang ke negeri seberang Singapura, Brunei, tapi umumnya Malaysia. Telah 20 tahunan praktek ini terjadi. Satu demi satu naskah tua itu itu berpindah pemilik : surat-surat antik milik kerajaan lama di pesisir Sumatera, Al-Qur’an tua yang ditulis tangan, pelbagai syair, gurindam, dan catatan cerdik-pandai Riau tempo dulu.

Malaysia dan Singapura memang sedang giat-giatnya mengumpulkan naskah Melayu Kuno. Telah lama mereka memendam cita-cita : menjadikan negaranya menjadi pusat kebudayaan Melayu. Diluar itu, ada pula konsumen yang membelinya untuk koleksi pribadi atau dijadikan barang investasi. Di dalam negeri, belenggu kemiskinan membuat pemilik naskah tak banyak punya pilihan : menjual harta karun itu lebih baik daripada membiarkan perut tidak berisi.

Hokum tentu melarang praktek ini. Undang-undang No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya jelas-jelas tak mengizinkan transaksi artefak budaya yang berumur sedikitnya 50 tahun. Ganjaran bagi yang melanggar: 10 tahun penjara atau denda setingi-tinginya Rp 100 Juta.

Memang ada problem klasik soal anggaran yang minim dan kesadaran penduduk yang rendah akan pentingnya memelihara benda-benda itu. Jangankan mencegah warisan itu melayang pergi, menginvetarisasinya saja kita belum mampu. Pemerintah pusat, melalui Balai Kajian Sejarah dan Tradisional di Riau, hanya punya anggaran 2 miliar setahun, itupun untuk lingkup Kepulauan Riau, Jambi dan Bangka Belitung.

Sampai disini, yang dibutuhkan asalah kreativitas pemerintah daerah. Kepulauan Riau sejatinya bukan provinsi yang miskin-miskin amat. Kalaupun misalnya dana tidak tak ada, mereka bias bekerjasama dengan pelbagai lembaga dalam dan luar negeri yang punya perhatian terhadap artefak masa lalu. Pemerintah Malaysia dan Singapura dengan prasangka baik bahwa mereka tidak ingin menuasai sendiri warisan pubakala itu, bisa diaja bekeja sama.

Kita memang tidak sedang berbicara tentang nasionalisme sempit diatas fakta bahwa, di tangan penduduk, naskah-naskah itu hanya akan menjadi barang lapuk. Kita sedang berbicara bagaimana menjaga buku-buku tua itu agar tek lekang oleh zaman-seraya sedapat mungkin tak memindahkannya dari tempat asalnya. Ada memang argumen yang mengatakan lebih baik jika benda sejarah itu dipelihara di luar negeri ketimbang redam di negeri sendiri. Artefak kita yang tersimpan di negeri Belanda, misalnya, toh lebih terawat ketimbang yang ada di Museum Nasional.

Tapi pandangan minimalis ini mestinya bisa dibantah dengan mengatakan bahwa sekarang adalah era otonomi, ketika daerah punya hak penuh untuk mengelola asetnya. Menyelamatkan naskah-naskah kuno hendaknya jua dibaca sebagai upaya meningkatkan parawisata daerah yang akhirnya bisa mendatangkan devisa.

Disinilah pemerintah local beradu lari dengan konsumen luar negeri. Pasar barang antik tidak mengenal batas negeri: ia akan mengalir ke arah uang melambai. Tanpa identifikasi dan pengelolaan yang jelas, naskah kuno akan raib tak tentu rimba. Jika ini terjadi, publik jelas dirugikan karena mereka akan kehilangan akses. Masa lalu tidak hidup untuk dirinya sendiri: benda sejarah ada untuk dipelajari dan diapresiasi.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Senin, 14 Juli 2008, 08.35 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 09.29  

0 komentar:

Posting Komentar