Pandangan Tentang Sejarah Riau 5

Jumat, 04 Juli 2008

Kutipan Buku : Dari Perbendaharaan Lama

Karya Prof. Dr. Hamka

Bagian kelima

Sekarang tentang tahunnya. Tahun pengiriman surat itu menurut Fatemi, menurut tahun Masehinya ialah 718, yang sama dengan tahun Hijriyah 75 Hijriyah. Artinya masih abad hijriyah yang pertama. Kita ingat Nabi Saw hijrah ke Madinah tahun 622 (Masehi) dan wafat tahun 632 Masehi. Sebab itu memang tepat jika dikatakan bahwa di Abad Pertama Hijriyah Islam telah datang ke negeri kita ini.

Sejarah Riau

Sekarang kita alihkan pembicaraan kepada pengkajian Sejarah Riau. Pada hemat saya, di dalam mengkaji Sejarah Riau seyogyianyalah kita insafi bangsa Melayu Riau yang tulen, Melayu Riau yang sejati, yang disebut Asli Melayu, payahlah mencarinya. Samalah dengan pepatah melayu ;”mencari kutu di dalam ijuk.” Mungkin yang Asli Melayu hanya tinggal suku-suku terbelakang yang masih hidup di hutan, sebagai Talang Mamak dan Orang Kubu. Adapun yang dinamai orang Melayu Riau, di zaman kebesaran Imperium Melayu, sejak zaman Pasai, sampai zaman Malaka, sampai zaman Riau termasuk Johor, bernama Melayu bukanlah karena keaslian darah, melainkan karena telah lama tinggal di bawah payung naungan payung panji raja-raja Melayu. Bahkan raja-raja itu sendiri pun banyak yang bukan asli Melayu, melainkan dirajakan oleh orang Melayu. Melayu Riau ialah berasal dari suku-suku Melayu seluruh Kepulauan kita dan semenanjung kita yang kuat perkasa, yang suka mengembara mencari penghidupan. Di mana yang manfaat, di sanalah mereka berdiam. Dengan dasar taat setia kepada raja-raja setempat. Mereka datang dari Malaka, dari Johor, dari seluruh semenanjung, dari Bugis, dari pulau Bawean, dari Minangkabau, dari Banjar, dari Kepulauan Sulu (Filipina sekarang). Di dalam Tuhfat an Nafis Raja Ali Haji menuliskan bahwa di Tanjung Balai Karimun pernah seorang Datuk yang datang dari Pulau Sulu jadi Panglima Laut. Juga dari orang Jawa! Juga orang Bajau.

Berkembang satu pantun; seorang perempuan dipermadukan oleh suaminya. Dia mengeluh karena suaminya itu sudah sangat lama tidak pulang ke rumahnya. Keluhannya diungkapkan dalam satu pantun :

Berkembang layar perahu Bajau

Mudik di sungai Batang Hari

Bagai bintang kapur di kasau

Bilangan tuan tidak ke mari

Arti yang terkandung di bagian kedua pantun itu ialah bahwa perempuan itu pemakan sirih. Taiap hari digoreskannya di kasau kapur sirihnya (sadah) satu goresan. Lama-lama jadi banyak goresan itu, putih-putih sehingga laksana bintang layaknya. Maka ketika suaminya yang telah lama pergi itu pulang kembali, diperlihatkannya goresan kapur sirih di kasau itu dan dipantunkannya pantun tersebut, menyesali suaminya.

(Bangkinang, 05 Juli 2008, Sabtu 05:44 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 20.20  

0 komentar:

Posting Komentar