Pandangan Tentang Sejarah Riau 3

Jumat, 04 Juli 2008

Kutipan Buku : Dari Perbendaharaan Lama

Karya Prof. Dr. Hamka

Bagian ketiga

Di sinipun terdapat Raja Kecil petualang gagah perkasa yang di masa hidupya penah mengharung laut Selat Malaka, merebut dan menguasai Johor, Riau, Lingga dan berbagai Negeri di Pesisir Pulau Sumatra. Yang mengakui dirinya anak sah dari Sultan Johor dan yang berhak atas takhta Johor, yang kemudian tetap menjadi Raja atas negeri Siak Sri Inderapura.

Di sini terdapat seorang Sarjana Islam yang besar, ahli sejarah dan bahasa, tempat bertanya dalam soal-soal Hukum Agama. Raja Ali Haji yang memancarkan sinar Ilmu Pengetahuan dari Pulau Penyengat.

Di sini terdapat Pakih Shaleh, Haji Muhammad Shaleh, yang disebut juga Harimau Rokan, disebut juga beliau di Dalu-Dalu, itulah Tuanku Tambusai, Pahlawan Paderi terakhir.

Dan di sini di zaman baru terdapat seorang Raja Melayu yang mula-mula sekali menyatakan kerajaannya menggabungkan diri ke dalam Repulik Indonesia, Sebagai sambutan Baginda atas Proklamasi 17 Agustus 1945. Itu terjadi masih daam bulan Oktober 1945. Dan beliau serahkan beserta pangkuan penggabungan diri itu 13.000.000 (Tiga Belas Juta) Gulden kekayaan Baginda kepada Republik Indonesia untuk sokongan bagi perjuangan kemerdekaan. Itulah Yang Dipertuan Besar Sri Sultan Assayid Assyarif Hasim Abduljalil Saifuddin Al-Ba’alwiy, Sultan Sri Inderapura Rantau Jajahan takluknya yang bersemayam di dalam istana Al Hasyimiyah Almustanjid Billahi. (begitulah gelar resmi Baginda ditulis dengan lengkap).

Di sini timbul seorang pemuda yang hanya mendapat pendidikan surau saja, bukan sekolah Tinggi di Eropa atau salah satu Sekolah Kolonial. Pemuda itulah yang memimpin penaikan bendera Merah Putih yang mula sekali di daerah Kampar, yang disokong oleh murid-muridnya yang bersedia Syahid dalam menegakkan cita merdeka. Yaitu Almarhum Ustadz Mahmud marzuki. Ditangkap oleh Jepang, diinjak-injak dadanya dan dikirik-kirik dengan kaki, namun sang merah putih tetap naik. Ustadz Mahmud Marzuki dapat melihat dengan rasa bahagia. Meskipun beberapa bulan ke belakang itu beliau memdapat panggilan Tuhan karena dada yang telah remuk karena diinjak-injak itu.

Semua itu disini, saudara-saudara, di Propinsi Riauyang sekarang dalam Republik Indonesia yang Merdeka.

Disini pula terdapat suatu tempat yang sekarang telah tergabung ke dalam Propinsi Riau. Yaitu Candi Muara Takus. Disitulah apa yag ditulis oleh Sarjana F.M Schniger Ph.D dalam bukunya “The Forgetten Kingdom in Sumatra”

Menurut susunan adat yang berjenjang naik, bertangga turun, jalan raya titian batu, yang sebaris tiadakan hilang, setitik tiadalah lupa, Muara Takus adaah temasuk luhak Limapuluh Koto, yag di zaman Belanda menjadi sebuah Onderafdeeling, ibukota negerinya Payakumbuh. Namun karena sekali air gedang, sekali tepian berubah, tergabunglah Lima Koto Bangkinang ke dalam Propinsi Riau yang sekarang dan lantaran itu terbawalah pula Muara Takus. Maka dalam menggali sejarah Riau, dengan sendirinya Muara Takus menjadi obyek yang penting. Menjadi buah selidik dan diskusi ahli-ahli sejarah di mana letak Sriwijaya lama itu, di Bukit Siguntang Mahameru yang di Palembang atau di Muara Takus inikah.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, 04 Juli 2008, 10:35 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 20.15  

0 komentar:

Posting Komentar