Simalakama Dari Tanah Raja Ali Haji 3

Senin, 04 Agustus 2008

Dikutip dari investigasi tempo edisi 23 Juli 2006

Dalam telisik Al Azhar, terbangnya berbundel-bundel naskah klasik yang semakin kasat mata itu terlihat menggencar sejak 1973, ketika Malaysia menggelindingkan niat menjadi pusat Kebudayaan Melayu. Impian ini dikejar denga membentuk Institut dan Tamadun Melayu (ATMA), sebuah pusat penelitian dan pengkajian di bawah payung Universiti Kebangsaan Malaysia. Sejarah kebudayaan Melayu itu diyakini terekam dalam perkamen klasik yang tersebar di berbagai tempat di Riau, terutama di Pulau Penyengat, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga, selain di Daik yang menjadi pusat kerajaan. Modusnya lewat para peneliti ATMA yang terjun langsung ke lokasi atau lewat makelar naskah seperti Khairullah.

Tapi, sebelum lebih jauh melihat bagaimana urutan naskah berpindah tangan, marilah kta susuri waktu ke awal abad ke-19. Raja yang memerintah di kepulauan ini, mulai dari Sultan Abdurrakhman Syah (1812-1832), Sultan Muhammad Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzaffar Syah (1841-1857), Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857-1883), Serta Sultan Abdurrakhman Muzafar Syah (1183-1911). Diketahui memiliki minat yang tinggi pada kegiatan literasi, dan mengembuskan atmosfer yang hangat sampai ke luar dinding kerajaan. Akibatnya, terjadi banjir naskah dengan beragam topik. Tonggaknya semasa raja Ali Haji (1803-1873) menerbitkan buku-buku termashur. Sebut saja Tuhfat al Nafis tentang sejarah raja Melayu, kitab pengetahuan bahasa, serta catatan-catatan perjalanan Raja Ali Haji seantero negeri.

Penelusuran Tempo ke Pulau Penyengat, pulau mungil seluas 3,9 kilometer persegi yang ditempuh 20 menit perjalanan laut dari Tanjung Pinang, membuktikan sama sekali tidak sulit membeli naskah seperti ini jika berdompet tebal. Tak mengherankan jika Raja Malik, Direktur Pusat Maklumat dan Kebudayaan Melayu Riau yang menyimpan sekitar 300-an naskah, menyebutkan bahwa sampai paruh pertama tahun ini sedikitnya sudah 50 naskah yang berpindah tangan. ”koleksi saya pernah ditawar calon pembeli dari Brunai yang bersedia membayar berapapun,” ujar keturunan Raja Ali Haji ini dengan masygul.

Selain Malaysia dan Brunei, pemburu naskah pun berdatangan dari Singapura, yang dilihat Al Azhar sebagai bagian dari pembentukan kembali citra Singapura. ”Mereka ingin membuktikan bisa berubah dari kumpulan binatang ekonomi menjadi masyarakat yang berbudaya,” kata Al Azhar. Ia menunjukkan bukti Istana Kampung Gelam Istana Sultan Singapura di jalan Arab, yang baru selesai di renovasi sebagai simbol titik balik keinginan negeri kota itu untuk berkompetisi dengan Malaysia sebagai ikon Melayu. ”padahal 75 persen koleksi yang mereka pajang itu berasal dari khazanah Melayu Riau,” kata Al Azhar lagi.

Namun tidak arif jika tudingan hanya diarahkan ke ketiga negeri jiran. Bukan hanya karena pemilik naskah merasa lebih mendapatkan manfaat ekonomis dari warisan turun-temurun yang terus menerus mereka simpan. Kondisi naskahnya pun memprihatinkan, karena sejatinya juga tidak pernah diurus pemerintah seperti diamanatkan UU No. 5/1992. Al Azhar menunjuk Balai Kajian Sejarah dan Tradisional (BKST) di Tanjung Pinang sebagai contoh. Awalnya lembaga bergedung megah ini dimaksudkan sebagai penyelamat kekayaan tradisional. ” Namun, jangankan mau meproteksi, untuk menginventarsasi pun sudah mandul,” tutur Al Azhar.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Senin, 04/08/08, 23:49 WIB)

0 komentar:

Posting Komentar