Naskah Kuno di Kedai Kopi 1

Jumat, 08 Agustus 2008

Naskah Kuno di Kedai Kopi
Dikutip dari Majalah Tempo edisi 23 Juli 2006
Dari ahli sejarah hingga pemandu wisata. Dari pedagang barang antik hingga wisatawan. Semua terlibat dalam penjualan naskah Melayu di Riau.

JALAN aspal yang telah gripis itu membelah ke¬bun sagu. Hujan yang jatuh semalaman mem¬buat kolam-kolam kecil di tengah lintasan. Pe¬ngendara ojek motor hafal betul rute "maut" ini: mereka lincah bergerak menghindari lubang. Setengah jam menumpang ojek, Daik, ibu kota Kabu¬paten Lingga, segera tampak.

Tak sulit mengunjungi tempat itu. Jaraknya dari Tanjungpinang, ibu kota Kabupaten Bintan, Riau, "hanya" tiga jam perjalanan-menumpang kapal feri jurusan Tanjungpinang-Dabo Singkep. Dari Dabo, perlu setengah jam lagi dengan kapal ke utara menu¬ju Pelabuhan Tanjung Buton. Dari situ, baru naik ojek ke Daik.

Kabupaten Lingga, berdiri Mei 2004, terdiri dari tiga gugusan pulau: Senayang di utara, Lingga di te¬ngah, dan Singkcp di selatan. Tapi, melihat sejarah¬nya, Daik bukanlah kota anyar. Di sini, 100 tahun lebih Kerajaan Riau-Lingga berpusat. Di tempat ini tersimpan bangunan bersejarah, benda pusaka, dan naskah Melayu Lama-sesuatu yang diburu makelar barang kuno.
Salah satunya Khairullah, 45 tahun, warga Pulau Penyengat yang telah berpuluh kali bolak-balik Tan¬jungpinang-Daik. Menurut Syahrul-begitu is biasa disapa-hampir seluruh rumah di Daik menyimpan benda pusaka khazanah Melayu, terutama naskah¬naskah lama-buku, kumpulan syair, jurnal, hingga surat-surat kedinasan tempo dulu.

Pada 1787, Daik dipilih oleh Sultan Melayu menjadi ibu kota Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Sedangkan Pulau Penyengat ditetapkan sebagai ibu kota peme¬rintahan. Karenanya, Penyengat juga menjadi cum¬ber naskah lama, meski jumlahnya tak sebanyak di Daik. Tempat lain yang juga menyimpan ribuan naskah lama-terutama Al-Quran tulisan tangan¬adalah Pulau Bintan.

Di kawasan kepulauan inilah Syahrul berkelana: mendatangi rumah-rumah pemilik, membujuk de¬ngan pelbagai kata-kata manic, lalu memboyong har¬ta karun itu pergi. "Kadang naskah Melayu itu tidak berarti buat pemiliknya," katanya.

SEMUANYA berawal dari buku kecil seukuran kartu nama: kusam, sampulnya hitam pupus, dan kertas di dalamnya beberapa telah rontok. Tapi dari buku kucel itulah aktivitas Syahrul berasal. Setiap hari, ke mana pun is pergi, buku itu selalu ada di saku celana.

Di dalamnya tersimpan daftar pemilik naskah yang terserak di seantero Provinsi Kepulauan Riau: Ling¬ga, Singkep, Senayang, Pulau Tujuh-pulau-pulau kecil di sekitar Natuna. "Dompet saga boleh hilang, tapi jangan catatan ini," kata Syahrul. Barisan nama itu adalah hasil survei selama 20 tahun yang is laku¬kan saat mencari benda-benda sejarah. "Kalau ada uang, saga tinggal membuka catatan ini," kata ayah tiga putra ini.
Uang? Berburu naskah Melayu memang perlu duit yang tak sedikit. Dalam satu perjalanan-biasanya sekitar 40 hari-Syahrul membawa sedikitnya Rp 30 juta. Itu uang dari koceknya sendiri. Selain untuk membeli naskah kuno, uang itu banyak habis untuk biaya perjalanan.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Jum’at, 08/08/08, 09:20 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 01.28  

0 komentar:

Posting Komentar