Naskah Kuno di Kedai Kopi 4 (Habis)

Jumat, 08 Agustus 2008

Dikutip dari Majalah Tempo edisi 23 Juli 2006

Dari ahli sejarah hingga pemandu wisata. Dari pedagang barang antik hingga wisatawan. Semua terlibat dalam penjualan naskah Melayu di Riau.

Seluruh pemilikan benda-benda khazanah Melayu itu memang sudah dikuasakan kepada Syahrul un­tuk dilego. Tapi, lantaran is tidak punya uang cukup, bends itu is tawarkan ke koleganya, seorang "tauke" benda antik dan seorang lagi pembeli barang antik asal Malaysia. Komisi 20 persen menunggu Syahrul.

Syahrul mengaku, dirinya kerap menjual naskah dan benda antik lainnya ke pasar lokal lewat tauke asal Tanjungpinang ini. Tapi, tak jarang Syahrul berhubungan langsung dengan pembeli asal Malay­sia. "Banyak orang Malaysia yang langsung datang ke rumah saya."

Pembeli asal Malaysia ini, kata Syahrul, dari ber­bagai profesi dan lapisan: kolektor biasa, pedagang naskah, peneliti, hingga keluarga Kesultanan Johor. Soal penjualan yang melibatkan keluarga sultan ini, Syahrul punya cerita.

Pada 2000 silam, seorang pengusaha asal Malay­sia bernama Lucas menemuinya di Penyengat. Dari pembicaraan itu diketahui, Kesultanan Johor ber­keinginan membeli naskah Melayu asal Riau, teruta­ma yang menyangkut kebesaran Kerajaan Johor. Lu­cas meminta Syahrul mengumpulkan naskah yang dimaksud sambil memberi iming-iming uang 40 ribu ringgit Malaysia. "Tapi, setelah saya kumpulkan, pembayaran tidak sebesar janjinya," kata Syahrul bersungut.

Namun, meski begitu, Syahrul tidak kapok menjual naskah kepada pembeli Malaysia dan Singapura, lan­taran jika datang ke Riau mereka membawa setum­puk uang. "Orang seberang, kalau melihat barangnya bagus, harga tak ditengok," katanya beralasan.

Penjualan naskah Melayu di Riau jugs kerap me­lalui tangan-tangan pemandu wisata. Pulau Penye­ngat dan Daik-Lingga kerap didatangi pelancong Malaysia dan Singapura yang rajin membeli suve­nir. Nama Syahrul dikenal oleh pemilik toko cendera mata. Barkah, sopir motor becak di Penyengat, ke­rap membawa tamunya langsung ke rumah Syahrul. "Lumayan tipsnya banyak," kata Barkah.

Di Tanjungpinang dan sejumlah kawasan di Kepu­lauan Riau, penjualan naskah-naskah tua ini terjadi di depan mats dan melibatkan siapa saja. "Seperti menjual komik saja," kata Al-Azhar, budayawan dan Ketua Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji-Riau.

Azhar lalu bercerita. Pada 2002 lalu, saat berada di kedai kopi, matanya tertumbuk pada sebuah nas­kah dalam lemari kedai. Saat dilihat, ternyata itu se­buah naskah Melayu setebal 500 halaman. Saat di­tanyakan pada pemilik kedai, naskah itu dijual Rp 3 juta. Lantaran tidak memiliki uang, Azhar kembali esok harinya. Tapi naskah itu telah raib. "Sudah di­beli orang Johor," kata pemilik kedai, enteng.

Terkurasnya naskah Melayu diakui Abdul Kadir Ibrahim, Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala Kota Madya Tanjungpinang. Ia berujar enteng, "Naskah Melayu memang menjadi sebuah komoditas meng­giurkan."

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Jum’at, 08/08/08, 10:07 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 01.34  

0 komentar:

Posting Komentar