Naskah Dikuras,Situs Merana 1
Jumat, 08 Agustus 2008
Dikutip dari investigasi tempo edisi 23 Juli 2006
Naskah tuanya dikuras, cagar budaya di Penyengat remuk-redam. Di pulau kecil ini tradisi tulis Melayu modern dirintis.
"Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam; adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang; beberapa ribu laksa pedang yang sudah terhunus, dengan segores kalam jadi tersarung." Bustan al-Katibin, Raja Ali Haji (1809-1873)
BANGUNAN di jantung Pulau Penyengat itu tampak sekali tidak pernah ditoreh dengan cat baru: tua dan merana. Sawang dan debu tersebar di gedung milik Teungku Bilik, adik Sultan Riau terakhir, Abdurahman Muazzamsyah, tersebut. Telah lebih dari seabad usianya. Di sekeliling, rumah-rumah penduduk memagari pulau 3,9 kilometer persegi itu. Jalan-jalan semen selebar dua becak juga lengang.
Sulit membayangkan pulau ini pada abad ke-18 sampai 19 adalah Kerajaan Melayu, Riau-Lingga. Sekarang sebagian besar dari 2.000 warga Penyengat bekerja sebagai nelayan. "Praktis pada siang hari, pulau ini sepi," kata Raja Malik, 35 tahun, Ketua Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau. Keadaan ini bertolak belakang dengan Tanjungpinang, Pulau Bintan, yang letaknya hanya dipisahkan selat dua kilometer. Tanjungpinang adalah
PENYENGAT berkibar menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Melayu setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Waktu itu Sultan Mahmud I, penguasa Melayu, mundur ke selatan dan bertapak di Johor. Scat itu is juga menguasai Pulau Bintan.
Pada 1699, Sultan Mahmud II, keturunan kesekian Sultan Mahmud I, terbunuh. Tun Abdul Jalil, bendahara kerajaan, yang mengisi kekosongan takhta, malah memicu pertikaian di istana. Kondisi ini memancing Kerajaan Siak dan Minangkabau menyerbu Johor. Untuk mengembalikan kekuasaan, keluarga diraja Melayu meminta bantuan pasukan bayaran dari Bugis. Di bawah pimpinan lima pendekarDaeng Marewah, Daeng Celak, Daeng Kamboja, Daeng Parani, dan Daeng Menambun-perlawanan itu mendapat hasil.
Maka, naiklah pasangan pemimpin Melayu-Bugis ke tampuk kekuasaan. Pusat pemerintahan lalu dipindahkan ke Penyengat. Mereka lalu menjadikan kawasan ini sentra ekonomi yang tangguh. Pada 1784 Kerajaan Melayu mencoba menyerbu Belanda, namun gagal. Belanda akhirnya meningkatkan pengawasannya di pulau mungil tersebut.
Merasa mustahil melawan dengan senjata, orangorang Riau memindahkan lapangan pertempuran ke ranch intelektual. Raja Ali Haji (1809-1873) adalah tokoh yang berdiri paling depan. Ia, misalnya, mengobarkan perlawanannya dengan menulis di mukadimah buku pelajaran bahasa Melayu, Bustan al-Katibin (Taman Para Penulis).
Dia juga membujuk kerabatnya agar membaca banyak kitab. Inilah yang kemudian melahirkan "Lingkaran Penyengat", sebuah kelompok yang banyak memproduksi karya tulis. Dari lingkaran ini, lahir aneka teks, buku, dan jurnal, yang semuanya membangkitkan semangat perlawanan.
Sepanjang hayatnya, Raja Ali Haji berhasil menulis 11 karya termasyhur. Di antaranya Syair Sultan Abdul Muluk, Gurindam Dua Belas, Bustan al-Katibin, Pengetahuan Bahasa, Silsilah Melayu-Bugis, Tuhfat al-Nafis, Tsamarat al-Muhimmah, Syair Siti Sianah, Syair Hukum Nikah (Syair Suluh Pegawai), Sinar Gemala Mustika Alum, Taman Permata, Al-Wusta dan Al-Kubra.
Dari semuanya, menurut ahli bahasa Melayu, AlAzhar, Tuhfat al-Nafis (Hadiah Berharga) yang paling monumental. Tuhfat adalah karya sastra sejarah modern yang menggugat teks-teks sejarah yang ada pada waktu itu. Misalnya, is mengkritik karya-karya yang mengabaikan penjelasan waktu dan tempat atau yang menyembunyikan identitas penulisnya. Ali Haji selalu membubuhkan nama di setiap karya miliknya.
(Pekanbaru, Kamar Kostku, Jum’at, 08/08/08, 08:54 WIB)