Naskah Dikuras,Situs Merana 2 (Habis)

Jumat, 08 Agustus 2008

Dikutip dari investigasi tempo edisi 23 Juli 2006
Naskah tuanya dikuras, cagar budaya di Penyengat remuk-redam. Di pulau kecil ini tradisi tulis Melayu modern dirintis.


Kegairahan menulis pada penduduk Penyengat kian berkobar bahkan setelah Ali Haji wafat. Perkembang¬an sadar-aksara itu mencapai puncaknya saat Kera¬jaan Riau-Lingga mendukung dibentuknya Rusydi¬yah Klub pada 1880. Inilah sebuah perkumpulan yang terbuka untuk umum dan bergerak di bidang politik dan kebudayaan. Syarat menjadi anggota per¬kumpulan ini: pendaftar harus memiliki sedikitnya dua karya tulis yang sudah dicetak. "Ini yang mem¬buat kegiatan tulis-menulis meningkat di Penyengat," kata Raja Malik.

Tapi, ada hasilnya: masyarakat kebanyakan kian akrab dengan tradisi menulis. Maka, tak menghe¬rankan jika dari pulau ini banyak lahir karya sastra yang ditulis nelayan atau pedagang. Satu di antara¬nya, Perkawinan Penduduk karya encik Abdullah (1902), seorang penjaring ikan. Maraknya hasrat menulis melahirkan tradisi baru, yakni litografi alias cetak batu. Litografi sendiri di¬ perkenalkan oleh seorang misionaris Inggris, Med¬hurst, pada 1828 di Asia Tenggara. Teknik ini cukup populer di Selat Malaka pada abad ke-19.

Litografi adalah teknologi cetak yang murah dan mudah. Satu halaman tubs bisa langsung dicetak. Aksara apa pun bisa dibentuk menurut keinginan pe¬ngarang. Pada masa itu ada tiga tempat di Nusantara yang mempunyai percetakan litografi milik pribumi: di Palembang milik Kemas Haji Muhammad Azhari (1848-1854), di Surabaya milik Husain al-Habsyi (1853), dan di Penyengat (1850).

Menurut Raja Malik, pada 1850 terdapat dua per¬cetakan aktif di Penyengat: Mathba'at al-Riawiyah dan Mathba'at al-Ahmadiyah. Yang pertama adalah percetakan kerajaan. Seluruh nota dinas, traktat per¬janjian, korespondensi dengan kerajaan lain, dicetak di Mathba'at al-Riawiyah. Adapun Mathba'at al-Ah¬madiyah khusus mencetak buah pikiran para cerdik pandai, seperti buku, syair, jurnal, dan catatan hari¬an. Percetakan di Penyengat sangat terpandang, bah¬kan mendahului perkembangan industri percetakan di Singapura.

Tetapi masa suram kejayaan akhirnya muncul. Pada 1913, Kerajaan Riau-Lingga, yang berpusat di Penyengat, dibubarkan Belanda. Sebagian besar lingkaran intelektual Raja Ali Haji ikut hijrah ke Singapura dan Tanah Semenanjung. Pewarisan kua¬sa kalam terpotong karena pasokan bacaan di kam¬pung-kampung berkurang. Penulis huruf latin jebol¬an sekolah Hindia Belanda menggusur penulis huruf Jawi-Arab gundul.

Bangunan bekas Rusydiyah Klub adalah potret muramnya Pulau Penyengat. Yang tersisa hanyalah batu-batu bata besar dan tanah kosong. Rumput se¬tinggi betis meliar tumbuh. Di tengahnya hanya ter¬sisa sedikit fondasi bekas bangunan itu.

Menurut Mohammad Farid, 50 tahun, warga Pe¬nyengat, merananya peninggalan masa lalu itu aki¬bat miskinnya perhatian pemerintah. Padahal, kata guru mengaji itu, bangunan Rusydiyah Klub sebenar¬nya dapat diselamatkan. "Dua puluh lima tahun lalu, bangunan Rusydiyah masih berdinding," katanya. Ia tak mengelak jika dikatakan kesadaran penduduk untuk merawat situs kuno juga belum tumbuh. Se¬bab, sebagian bahan bangunannya malah dijadikan bahan fondasi rumah warga.

Pemerintah tak bisa berbuat banyak. "Dana kami terbatas," kata Abdul Kadir Ibrahim, Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala Kota Tanjungpinang. Sebenar¬nya, kata dia, usaha penelitian dan pelestarian situs di Penyengat sudah lama dilakukan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bahkan pernah melakukan peneli¬tian di Pulau Penyengat dan Bintan pada 1981-1983.
Proyek itu lalu diteruskan oleh Direktorat Perlin¬dungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Batusangkar. "Tapi, karena banyaknya sebaran situs, pekerjaan penyelamatan tidak maksi¬mal," kata Abdul Kadir. Di Pulau Penyengat, sedikit¬nya memang terdapat 19 bangunan bersejarah.

Penyengat, nama ini diambil dari cerita rakyat. Ko¬non dulu banyak orang luar yang datang ke pulau ini disengat lebah. Lalu, disebutlah pulau itu "Penye¬ngat". Kini, kebesaran Kerajaan Melayu Riau-Lingga itu sama sekali tak tersisa-lunglai tersengat zaman.

(Pekanbaru, Kamar Kostku, Jum’at, 08/08/08, 08:56 WIB)

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 00.16  

0 komentar:

Posting Komentar