Islam-Melayu di Era Multikulturalisme

Kamis, 09 Oktober 2008


(Bustanuddin Agus (dosen FISIP Unand))

Gerakan posmodernisme (postmodernism) di Barat yang mulai berkembang tahun 1970-an seolah-olah memberi angin segar kepada negeri-negeri Islam untuk membangun masyarakatnya berdasarkan ajaran agama mereka. Angin segar itu juga berembus di kalangan suku bangsa Melayu yang mayoritas mendiami Indonesia dan Malaysia. Anggapan ini karena gerakan posmodernisme merupakan kritik dan reaksi terhadap gerakan modernisme yang bersifat kolonial, menjajah dan berusaha keras membaratkan wilayah lain di dunia. Tentu saja penjajahan dimaksud adalah penjajahan budaya, bukan penjajahan militer dan politik seperti di zaman penjajahan klasik. Gerakan postmodern menuntut pengakuan dan tidak ada lagi penjajahan terhadap berbagai kelompok agama, ideologi, ras, seks, suku bangsa, dan pengelompokan masyarakat. Namun angin segar ini dewasa ini telah dirasakan sebagai angin panas, terutama di kalangan masyarakat Islam dan Melayu.

Pemikiran modernisme sinis dan merendahkan agama serta budaya etnis lain dari agama dan budaya Barat. Posmodernisme lebih lanjut mengeritik modernisme berwatak kolonial, selalu berusaha supaya bangsa dan suku lain mengikuti paham modernisme yang sukuler, materialis, dan individualis. Demokrasi dan sistem pasar bebasnya dipaksakan kepada bangsa-bangsa lain di dunia. Budayanya ditanamkan di seantero dunia.

Paham modernisme bermula dari gerakan Renaissance abad ke-15 M. Gerakan Renaissance menentang masuknya agama yang diusung oleh gereja Katolik Roma dalam kehidupan bermasyarakat (ekonomi, politik, hukum, pendidikan, ilmu pengetahuan dan lainnya). Sekularisme dan modernisme menghegemoni pemikiran masyarakat lain yang demikian banyak ragam etnis dan agamanya. Ilmu, politik, hukum, pendidikan, life styles di banyak negeri Timur telah terpengaruh oleh pemikiran sekularisme dan modernisme tersebut.

Tahun 1970-an tema pluralisme dan multietnik (yang merupakan kritik terhadap modernisme) mewarnai pula wacana pemikiran global. Pemikiran tersebut cepat berkembang dengan bantuan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Modernisme yang menghegemoni dunia sebelum ini mempercepat pula penyebaran posmodernisme karena kedua-duanya dikembangkan dari Barat. Walaupun posmodernisme merupakan kritik terhadap modernisme, namun kedua-duanya punya kesamaan, yaitu sama-sama bertolak dari faham relativisme.

Posmodernisme, secara teoritis, menerima berbagai agama (dan juga tidak beragama), budaya, ideologi, dan orientasi moral. Posmodernisme membebaskan apakah apakah seseorang akan memilih pasangan dengan lawan jenis atau sesama jenis, dengan nikah atau tanpa nikah. Prinsip menerima segala macam agama, budaya dan moral dinamakan pula pluralisme secara ideologi, pemikiran dan moral. Secara budaya ia dinamakan multikulturalisme. Alasan penganut paham ini menanamkan ajarannya juga berdasarkan kenyataan bahwa hampir tidak ada masyarakat (penduduk kota, penghuni kawasan, warga negara) yang hanya terdiri dari satu macam penganut agama, pengemban budaya dan moral yang sama. Maka pluralisme dan multikulturalisme adalah suatu keniscayaan di zaman majunya teknologi transportasi dan tingginya mobilitas manusia. Deklarasi hak asasi manusia (Human Rights) dan demokrasi sejalan pula dengan prinsip pluralisme dan multikulturalisme.

Namun penganut modernisme tidak tinggal diam. Mereka balik mengeritik posmodernisme sebagai paham dan filsafat tanpa arah. Posmodernisme, menurut mereka, adalah paham nihilisme, tidak sekedar relativisme. Tidak ada lagi pandangan hidup, kepercayaan, moral, dan nilai-nilai yang akan ditanamkan kepada generasi muda. Pemerintah hanya sekedar menjaga keamanan. Pembangunan budaya terserah saja kepada setiap kelompok masyarakat lainnya (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986).

Islam versus Pluralisme & Multikulturalisme

Dengan dalih demokrasi dan HAM di atas, Islam dicitrakan seolah-olah anti pluralitas. Pada hal agama Islam dan budaya Melayu juga menerima keberadaan penganut agama dan budaya lain di kalangan mereka. Pluralitas agama, budaya, etnis, dan bangsa dalam masyarakat dan negara mana pun di dunia dewasa ini memang suatu keniscayaan. Al-Qur`an sudah jauh-jauh hari mengingatkan adanya pluralitas masyarakat manusia. Surat al-Hujurat 13 mengungkap “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui”. Al-Qur`an surat al-Rum 22 menamakan keragaman tersebut sebagai ayat-ayat Allah, tanda-tanda kebesaran Allah bagi yang berilmu pengetahuan.

Dalam berhadapan dengan berbagai macam agama tersebut, Islam mengajarkan harus bersikap toleran. Bahkan pemimpin dan umat Islam harus berfungsi sebagai garda depan untuk melindungi umat agama lain dapat bebas menganut agama dan beribadat menurut ajaran agamanya masing-masing. Agama Islam bertujuan untuk mewujudkan perdamaian dalam kehidupan ummat manusia. Karenanya al-Qur`an tidak lupa meletakkan prinsip-prinsip pergaulan manusia atau masyarakat muslim dengan non-muslim. Pribadi dan masyarakat Islam tidak boleh memaksakan penganut agama lain pindah ke agamanya (Q.S. 2:256). Dalam menyampaikan dakwah Islam, hendaklah dengan cara yang bijaksana, dengan pelajaran dan diskusi yang lebih baik (Q.S. 16:125). Al-Qur`an melarang umat Islam mencaci tuhan agama lain (Q.s. 6:108). Surat al-Mumtahanah (60) ayat 8 menyatakan bahwa Allah tidak melarang umat dan pribadi muslim untuk berbuat baik dan tolong menolong dengan penganut agama lain. Rasulullah pernah bersabda, "Siapa yang menyakiti mu'ahid (penganut agama lain yang sudah punya ikatan perjanjian damai dengan masyarakat Islam), mengurangi haknya, membebaninya diatas batas kesanggupannya, atau mengambil sesuatu dari padanya tanpa kerelaan hatinya, akulah nanti yang akan menuntutnya (orang yang melakukan tindakan aniaya tersebut) di hari kiamat"(H.R. Abu Daud). Pada kesempatan lain beliau juga pernah berkata, "Siapa yang menyakiti seorang dzimmi (penganut agama lain yang menjadi anggota masyarakat Islam) berarti menyakiti aku sendiri". Tetapi dalam masalah iman dan peribadatan memang tidak ada toleransi sebagaimana ditegaskan oleh surat Al-Kafirun. Doa adalah otak ibadat. Karena itu doa lintas agama tidak perlu diadakan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada bulan Juli 2005 mengeluarkan fatwa, diantaranya haram bagi umat Islam mengaminkan doa agama lain, haram berpaham sekularisme dan pluralisme.

Pluralitas agama dan multikultur itu juga ditemukan dalam masyarakat Islam pertama yang dipimpin oleh Nabi Muhammad sendiri. Kota Madinah adalah masyarakat dan negara Islam pertama yang dipimpin oleh Nabi Muhammad dan dinamakan oleh Muhammad Hamidullah (1975) dengan La Cité État Islamique. Penandatangan konstitusinya (Piagam Madinah atau Mu’ahadah bain al-muslimin wa ghairihim, sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah ketatanegaraan dunia) terdiri dari perwakilan berbagai suku bangsa dan penganut agama. Ikut membubuhkan tanda tangannya wakil kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar), bangsa dan penganut agama Yahudi, penganut agama Kristen Orthodok, dan kaum musyrikin Arab. Penduduk Madinah ketika itu berjumlah sekitar 10.000 jiwa. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, kaum Muslimin di Madinah hanya 1.500 orang dan sekitar separo dari penduduk kota ini adalah penganut agama Yahudi. Kaum Muslimin, gabungan Muhajirin dan Anshar hanya 15 persen dari jumlah penduduk dan merupakan golongan yang sangat minoritas di tengah masyarakat yang multi suku dan agama.

Namun demikian umat Islam tidak diajarkan supaya berpaham pluralisme, apalagi pluralisme agama dan multi kulturalisme. Ketika pluralitas telah ditambah dengan isme, ia telah menjadi anutan, kepercayaan, paradigma, bahkan keyakinan. Pluralisme di Indonesia diartikan sebagai paham yang memandang benar berbagai agama yang dianut manusia. Penganut paham pluralisme memandang semua agama sama, sama-sama menyembah Tuhan Yang Esa, sama-sama pro keadilan, akhlak dan budi pekerti yang baik. Kalau bertolak dari istilah yang terlalu umum ini memang semua agama, idologi, dan budaya adalah sama. Tetapi kalau sudah melangkah ke realita apa Tuhan Yang Esa, apa yang adil, bermoral bagi suatu penganut agama, masyarakat, dan etnis berbeda dari masyarakat lain. Tuhan Yang Esa dalam Islam yang tunggal, tidak terdiri dari berbagai unsur, tidak ada yang menyamai-Nya. Dalam Kristen Tuahn Yang Esa adalah yang trinitas, yang tsalitsu tsalatstah. Yang adil dalam pidana Islam adalah qisas, dera dan rajam untuk jinayah pembunuhan, minum khamar, zina muhshan. Di Barat hanya hukuman penjara kalau membunuh. Minum khamar dan zina ghair muhshan tidak kejahatan, bahkan dianggap hak dan kebebasan masing-masing. Apa lagi apa yang dikatakan sopan, dan bermoral akan berbeda sekali antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.

Demikian pula Islam mengakui masyarakat, apalagi umat, terdiri dari berbagai etnis dan kultur. Tetapi Islam tidak menganut multikulturalisme. Istilah ad-din atau ajaran Islam mencakup segenap aspek kehidupan. Agama Islam hendaknya melahirkan kultur Islam atau way of life Islam. Way of life atau syir’atan wa minhajan Islam tidak sama dengan wway of life atau syir’atan wa minhajan yang lain.

Islam adalah dinullah Khalik manusia dan alam semesta. Islam, sebagaimana dinyatakan oleh surat Ali Imran ayat 19 dan 85, adalah satu-satunya agama di sisi Allah. Islam adalah agama umat manusia yang diwahyukan kepada para rasul dan nabi Allah, dari Adam sampai Muhammad sebagai nabi terakhir (Q.s. 2:23; 10:72, 90; 6:162-163; 22:34, 78 dlsb). Islam berarti tunduk dan patuh kepada Allah, kepada ajaran-Nya dan penjelasan rasul-Nya. Karena itu, apa-apa yang di bumi dan di langit telah ber-islam, telah tunduk dan patuh kepada Allah (Q.s. 42:13; 10:72, 84; 2:132, 133, 136). Kepatuhan dan ketundukan benda-benda di bumi dan di langit kepada sunnatullah (hukum alam dan kehidupan manusia yang diciptakan Allah) jauh melebihi kepatuhan dan ketundukan kebanyakan manusia yang menyatakan diri beragama Islam.

Kemudian isu pluralisme, hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, demokrasi, tampak dijadikan pula alasan untuk menolak ajaran-ajaran yang telah tertanam di kalangan masyarakat Islam dan suku bangsa Melayu. Ajaran Islam dan budaya Melayu, seperti tidak boleh murtad ke agama lain dan tidak boleh zina, dinilai oleh masyarakat dan banyak individu pencetus ideologi tersebut sebagai yang bertentangan dengan prinsip pluralisme dan semangat demokrasi. Karena itu umat Islam dan bangsa Melayu yang berkeyakinan selama ini bahwa agama Islam adalah petunjuk Allah Yang Maha Benar mendapat tantangan mendasar, tantangan dari dasar kepercayaan itu sendiri. Ajaran Islam sebagai agama yang dipercayai sebagai satu-satunya yang benar, diserang karena bertentangan dengan prinsip pluralisme. Pluralisme agama yang dimaksudkan oleh pendukungnya tidak hanya merupakan kemampuan untuk bekerja sama melampaui batas-batas perbedaan agama. Tetapi kerjasama tersebut seperti yang diungkap oleh Diana L. Eck menjelaskan proyek pluralisme dalam bukunya yang berjudul A New Religious Amerika: How a “Christian Country” Has Become the World’s Most Religiously Diverse Nation (2002) juga sampai kepada doa dan kawin lintas agama. Pluralisme bukan saja berbicara pada perbedaan, juga pada komitmen, keterlibatan dan partisipasi dalam pembangunan rumah ibadat. Pluralisme juga pertukaran, dialog, dan perdebatan dalam masalah teologi. Pluralisme adalah ibarat orkes simfoni dan ansambelmjazz. Pluralisme tidak hanya sebatas toleransi.

Lebih dari itu bagi masyarakat Indonesia, pluralisme diartikan bahwa kebenaran agama tidak hanya pada Islam, tapi juga pada agama lain. Di antara mereka beralasan pula bahwa ajaran agama yang mutlak itu hanyalah yang masih dalam bentuk wahyu. Demikian wahyu itu telah dipahami, diyakini, dan diamalkan manusia, ia otomatis menjadi relatif karena sudah turun ke dalam keyakinan, otak dan perasaan manusia. Karena itu ia akan sama saja dengan agama dan pengetahuan lain yang juga bersifat relatif. Tidak ada hak umat Islam untuk mengklaim bahwa agama mereka saja yang benar. Demikian di antara tulisan Ahmad Sjafii Maarif di opini Republika tanggal 29 Desember 2006.

Paham ini menghilangkan esensi agama itu sendiri. Bahkan menukar agama yang biasa dengan agama baru yang namanya pluralisme atau multikulturalisme yang nota bene bersifat relativisme. Relativisme menyentuh dasar-dasar keyakinan beragama. Karena itu masalahnya sudah menjadi sangat serius. Relativisme berhadapan dengan keyakinan beragama yang dipercayai sebagai ajaran Tuhan Yang Maha Tahun. Lahir dan berkembanglah paham-paham pluralisme agama di kalangan umat Islam dan Melayu sendiri. Alasan pluralisme agama mereka tambah pula dengan bahwa pluralitas agama dan budaya adalah suatu keniscayaan. Padahal ciri khas beragama adalah meyakini ajaran yang dianut sebagai (satu-satunya) yang benar. Secara sosiologis atau fakta sosial, masing-masing individu dan jamaah penganut agama yang berbeda, bahkan mazhab yang berbeda berpegang kepada agama atau mazhabnya secara fanatik. Kepercayaan bahwa agamanya adalah ajaran yang mutlak benar dan satu-satunya jalan keselamatan dianut oleh setiap penganut agama. “Fanatisme” adalah ciri keberagamaan seseorang dan suatu kelompok. Karena itu umat atau jamaah penganut suatu agama, bahkan penganut berbagai ideologi sekuler pun, cenderung fanatik, eksklusif, percaya hanya pengikut agamanya saja yang akan beroleh keselamatan.

Selama fanatisme masih berada pada tataran keyakinan kepada ajaran dan tidak ditujukan untuk menuding kelompok atau umat lain, tidaklah menjadi masalah. Tetapi kalau fanatisme agama telah menjurus kepada menghina, mengolok-olok sinis agama lain (seperti kasus kortoon Nabi dan Satanic Versesnya Salaman Rushdi), budaya dan ideologi lain baru menjadi masalah. Apalagi kalau sudah meningkat menjadi intimidasi, teror, pencekalan, dan ethnic cleansing, negara, organisasi antar bangsa harus bertindak tegas. Sedangkan fanatisme kepada ajaran agama masing-masing dinamakan istiqamah, iman dan taqwa. Bahkan ketaatan dan kecintaan kepada ajaran agama hanya bisa ditingkatkan kalau ajaran agamanya masih diyakini sebagai satu-satunya agama di sisi Allah. Tanpa fanatik kepada ajaran agamanya, keyakinan dan ketakwaannya bisa berkurang, bahkan bisa hilang sama sekali. Apapun agama yang dianut oleh manusia, baik Islam atau agama apapun, ajarannya diyakini secara fanatik (Agus.2003. Sosiologi Agama. h. 68-72, 87-90), terutama di kalangan grass root atau massa. Maka tidak fair kalau anak-anak muslim diindoktrinasi untuk tidak meyakini agamanya sebagai satu-satunya agama yang benar, sementara penganut agama lain, apa pun agamanya, tetap meyakini kebenaran ajaran agamanya secara fanatik, ajaran agamanya sebagai the ultimate concern.

Soal pluralistas suatu keniscayaan, Islam pun dari awal mengakui beragamnya keyakinan, warna kulit dan bahasa (budaya) umat manusia untuk saling kenal mengenal (al-Hujurat 13). Maka pluralitas dijadikan alasan untuk “memaksakan” pluralisme yang sebenarnya juga sudah menjadi “agama” baru, yaitu agama sekuler sesudah modernisme. Adanya keyakinan yang dipegang teguh secara bersama penting untuk menjaga keutuhan masyarakat. Bagi masyarakat yang tidak lagi menjadikan agama sebagai the ultimate concernnya, kepercayaan bersama atau akidah mereka diganti dengan berbagai isme, dengan berbagai filsafat, seperti sekularisme, materialisme, individualisme, sosialisme, nasionalisme, pluralisme dan lainnya. Dengan demikian semua filsafat ini, sebagaimana diungkap oleh Nottingham (19985:26-30) dan Jeurgensmeyer (1998), sosiolog agama kontemporer, menjadi agama modern atau agama sekuler. Jeurgensmeyer mengungkap dalam bukunya hasil penelitiannya di berbagai negara dan umat beragama dunia bahwa terjadi perlawanan sengit antara penganut nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler. Nasionalisme sekuler yang pada umumnya di pihak penguasa melakukan penekanan, intimidasi dan menghajar pihak nasionalis religius dengan berbagai macam tindak kekerasan.

Perlu pula disadari bahwa tema posmodernisme, pluralisme atau multikulturalisme menarik bagi banyak kalangan, termasuk kalangan beberapa cendikiawan muslim sendiri, seperti almarhum Nurcholish Madjid dan para aktivis Jaringan Islam Liberal. Mereka sangat gencar menyiarkan paham mereka dengan menggunakan media modern. Suara mereka lantang. Bahkan tak segan mengeritik keputusan Majelis Ulama Indonesia. Dengan demikian Islam sebagai agama suku bangsa Melayu menghadapi tantangan yang hebat dewasa ini, yaitu tantangan yang disuarakan dengan lantang oleh sebagian umat dan cendikiawannya sendiri.

Suara pendukung pluralisme dan multikulturalisme yang berasal dari Barat menggoyahkan keyakinan umat Islam kepada agama mereka berbeda sekali dengan kesimpulan Roger Garaudy, Guru Besar filsafat, bekas penganut Katolik dan pernah pula jadi aktivis Partai Komunis Perancis. Setelah menelurusuri filsafat Barat abad 20, agama Abrahamik, dan pesan Islam dalam bukunya Biographie du XXème Siècle. Le Testament Philosophique de Roger Garaudy (1985:381-398), menyimpulkan bahwa Islamlah agama universal yang dicari di abad dua puluh. Tidak seperti Hiduisme dan Budhdhisme, Islam tidak menilai dunia buruk. Tidak seperti Kristen, Islam tidak memisahkan domain Tuhan dan kaisar, serta tidak mengajarkan kehidupan kerahiban. Eropa, dari Sokrates sampai pemikir spirutalisme Husserl (serta posmodenisme, Habermas dan lain-lain) sama sekali tidak mengajarkan keyakinan, tapi hanya keraguan (n’est pas de la foi, mais le doute). Iman atau keyakinan adalah l’intérieur dari perbuatan. Perbuatan atau amal adalah l’extérieure-nya. Artinya aqidah dan syariah merupakan suatu kesatuan, tidak seperti ilmu kalam zaman klasik yang telah memisah antara keduanya dan pernah mengajarkan adanya Tuhan spesifik (de Dieu une spesialité, seperti Tuhan yang hanya Maha Menentukan di kalangan Jabariah atau Tuhan hanya Maha Adil di kalangan Qadariah. Islam menyatukan antara yang transenden dengan yang dunia (mondial). Ummah adalah komunitas Islami yang universal, tidak didasarkan ras, teritorial, bahasa, budaya, tapi hanya oleh satu tujuan bersama yaitu merealisir kehendak Tuhan di atas dunia (réaliser sur la terre la volonté de Dieu), komunitas iman (une communauté de la foi). Islam mengajarkan transendensi Tuhan dalam segala keterbatasan hidup manusia di alam, transendensi Tuhan dalam semua pemikiran, cinta, gagasan, dan perbuatannya.

Yusuf al-Qardhawi menjelaskan pentingnya iman atau keyakinan untuk meraih kemuliaan, kebahagiaan, ketenangan jiwa, tenaga untuk memperjuangkan cita-cita, untuk menanamkan kecintaan kepada Allah dan penghuni alam semesta, untuk menanamkan akhlak, untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dalam bukunya Al-Iman wa al-Hayah (1975). Setelah itu, dalam kesimpulan, al-Qardhawi mengungkap iman adalah kekuatan akhlak dan akhlak kekuatan, ruh kehidupan dan kehidupan ruh, rahasia orang alim dan yang mengetahui segala rahasia, keindahan dunia dan dunia keindahan, cahaya jalan dan jalan cahaya ... Iman, dalam satu kata kunci, adalah keharusan bagi kehidupan manusia (dharurah l al-hayah al-insaniyah), keharusan bagi individu supaya ia bahagia dan maju, serta keharusan bagi masyarakat supaya bersatu dan lestari. Iman yang dimaksud adalah iman menurut ajaran Islam dalam kekomprehensifannya, keseimbangannya, kedalamannya, kepositifannya, iman ma’rifah, niat, i’tiqad dan amal. Tidak iman logika saja sebagaimana diungkap oleh mutakallimun, tidak ruh saja sebagaimana diungkap oleh kaum shufi, dan tidak iman formalitas yang kering sebagaimana diungkap oleh fuqaha (1975:351). Maka iman menurut ajaran Islam adalah keyakinan yang komprehensif dan terpadu, kaffah dan tauhidy amat berbeda, bahkan berlawanan, dengan prinsip posmodernisme dan multikulturalisme.

* * *

Dari penyajian di atas dapat disimpulkan bahwa umat Islam dan bangsa Melayu tidak seyogyanya latah pula dengan pluralisme. Islam dan adat Melayu kaya dengan ajaran dan nilai-nilai yang perlu dipertahankan untuk dapat menjalani hidup modern dan harus menjadi modern, tetapi tidak menjadi penganut modernisme, posmodernisme, relativisme dan multikulturalisme. Dengan Islam dan adat Melayu, mereka harus dapat hidup modern dengan tetap bermakna dan manusiawi, dapat berandil dalam mewujudkan rahmatan lil’alamin dan hasanah di dunia dan akhirat. Namun tantangan materialisme, hedonisme, individualisme sangat mudah merusak generasi muda umat Islam dan bangsa Melayu karena selalu disuguhkan oleh media massa modern dan canggih. Pendidikan untuk menanamkan keyakinan, keimanan, dan kesadaran yang mendalam terhadap keutamaan penghayatan ajaran Islam dan adat resam Melayu (jalur kultural) supaya hidup lebih bermakna dan tidak sesat dalam fatamorgana kehidupan modernisme, posmodernisme dan multikulturalisme adalah gerakan yang harus diintensifkan dengan sokongan kebijakan pemerintah (jalur struktural).

Daftar Kepustakaan

Agus, Bustanuddin. 2003. Sosiologi Agama. Andalas University Press, Padang.

Hamidullah, Muhammad. 1395 H/1975. Le Prophete de L`Islam, Salih Ozcan, Ankara dan Beirut.

Eck, Diana L, 2005, Amerika Baru Yang Religius. Bagaima Sebuah “Negara Kristen” Berubah Menjadi Negara Dengan Agama Paling Beragam di Dunia. Judul asli A New Religious Amerika: How a “Christian Country” Has Become the World’s Most Religiously Diverse Nation (2002), diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Piga Hybrida, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Garaudy, Roger. 1985. Biographie du XXème Siècle. Le Testament Philosophique de Roger Garaudy, Tougui, Paris.

Hamidullah, Muhammad, 1395 H/1975, Le Prophete de L`Islam, Salih Ozcan, Ankara dan Beirut.

Jurgensmeyer, Marx, 1998, Menentang Negara Sekular. Kebangkitan Global Nasionalis Religius, terjemahan. Noorhaidi, Mizan, Bandung.

Lenz, Gunter H dan Shell, Kurt L (Eds.), 1986, The Crisis of Modernity, Westview Press, Colorado.

Nottingham, Elisabeth K., 1985, Agama dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi Agama, trans. Abdul Muis Naharong, Rajawali, Jakarta.

Al-Qardhawi, Yusuf, 1975, Al-Iman wa al-hayah, Maktabah Wahbah, Cairo.

Seidman, Steven dan Wagner, David, 1992, Postmodernism and Social Theory, Basil Blackwell, Cambridge.

Diposting oleh Eddy Syahrizal di 21.26  

0 komentar:

Posting Komentar